Ntvnews.id, Jakarta - Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) yang memilih lima pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari berbagai unsur seperti kepolisian, kejaksaan, hakim, dan mantan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menuai kritik keras.
Hendardi, Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, menilai bahwa pemilihan tersebut secara politik mengikis independensi KPK sebagai lembaga negara yang seharusnya bebas dari pengaruh eksternal.
Menurut Hendardi, pemilihan pimpinan KPK dari kalangan yang memiliki afiliasi dengan institusi negara tertentu, seperti kepolisian dan kejaksaan, dapat memunculkan potensi pengendalian terhadap sikap, tindakan, dan kehendak-kehendak dalam pemberantasan korupsi.
"DPR RI secara sengaja memilih calon-calon yang memiliki afiliasi organisasi yang memungkinkan pengendalian sikap, tindakan, dan pengendalian kehendak-kehendak tertentu dalam pemberantasan korupsi," ujar Hendardi dalam pernyataannya, Kamis, 21 November 2024.
Meskipun dari sudut pandang normatif, Hendardi mengakui bahwa mereka yang dipilih memiliki hak yang sama untuk menduduki jabatan di KPK, serta DPR RI memiliki kewenangan untuk menentukan pilihan tersebut. Namun, ia menekankan bahwa pemahaman tentang fungsi dan tujuan pembentukan KPK seharusnya menjadi landasan bagi keputusan tersebut.
KPK dibentuk sebagai lembaga yang independen dan merupakan lembaga bantu negara (auxiliary state institution) yang menjadi antitesis terhadap kinerja lembaga-lembaga negara seperti kepolisian dan kejaksaan yang sebelumnya dianggap tidak akuntabel dalam pemberantasan korupsi.
Lebih lanjut, Hendardi mengungkapkan bahwa pilihan DPR dalam memilih lima pimpinan KPK yang memiliki hubungan dengan patronase organisasi dan personal dalam lembaga-lembaga pemerintahan justru menguatkan skenario yang telah dimulai sejak era Presiden Jokowi.