Ntvnews.id, Jakarta -Bukti awal menunjukkan bahwa mantan Perdana Menteri Bangladesh, Sheikh Hasina, terlibat dalam kasus penghilangan paksa, menurut laporan komisi yang dibentuk oleh pemerintah transisi Bangladesh pada Sabtu 14 Desember lalu.
Komisi Penyelidikan Penghilangan Paksa menemukan adanya keterlibatan Hasina serta sejumlah pejabat keamanan tinggi dalam penghilangan paksa sejumlah individu, Minggu 15 Desember 2024.
Baca Juga : Serangan Pasukan Paramiliter di Sudan Barat Tewaskan 9 Korban
PBB dan kelompok hak asasi manusia lainnya sebelumnya menuduh bahwa ratusan orang, terutama anggota partai oposisi dan para pembangkang, menjadi korban penghilangan paksa selama pemerintahan Hasina.
Komisi yang dibentuk oleh pemerintah transisi Bangladesh saat ini, yang dipimpin oleh Muhammad Yunus, menemukan bukti awal yang mengaitkan Hasina. Ia melarikan diri ke India pada 5 Agustus setelah pemberontakan yang dipimpin mahasiswa.
Laporan yang diserahkan oleh komisi, yang dipimpin oleh mantan hakim Mainul Islam Chowdhury, berjudul "Unfolding The Truth" dan diberikan kepada Yunus di Dhaka.
Laporan tersebut mengungkap adanya "desain sistematis" untuk menutupi penghilangan paksa.
Ketua komisi menjelaskan bahwa orang-orang yang terlibat dalam penghilangan atau pembunuhan di luar proses hukum tersebut tidak memiliki pengetahuan mendalam tentang korban.
Baca Juga : ISIS Klaim Serangan Teror yang Tewaskan Pejabat Afghanistan
Penyelidikan ini juga melibatkan beberapa pejabat tinggi dari pemerintahan Hasina yang telah digulingkan, termasuk penasihat pertahanan, Mayor Jenderal Pensiunan Tarique Ahmed Siddique, mantan direktur jenderal Pusat Pemantauan Telekomunikasi Nasional, Mayor Jenderal Ziaul Ahsan, dan sejumlah perwira polisi senior.
Komisi mencatat sebanyak 1.676 pengaduan penghilangan paksa, dengan 758 di antaranya telah diverifikasi. Mereka memperkirakan jumlah total penghilangan paksa bisa melebihi 3.500 kasus.
Komisi juga merekomendasikan pembubaran Batalyon Aksi Cepat (RAB), pasukan elit yang dikenakan sanksi oleh AS karena pelanggaran hak asasi manusia, termasuk penghilangan paksa dan pembunuhan di luar proses hukum.
Minggu ini, kepala RAB mengakui adanya pusat penahanan rahasia bernama Aynaghar dan meminta maaf atas pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh pasukan tersebut. Ia menambahkan bahwa keputusan untuk mempertahankan atau membubarkan RAB sepenuhnya berada di tangan pemerintah, dan mereka akan menerima keputusan tersebut.
(Sumber Antara)