Harvey Moeis: Saya Tidak Pernah Nikmati Uang Korupsi Rp300 Triliun

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 19 Des 2024, 04:57
Muhammad Hafiz
Penulis
Beno Junianto
Editor
Bagikan
Terdakwa Harvey Moeis selaku perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin (tengah) saat membacakan nota pembelaan (pleidoi) dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (18/12/2024). Terdakwa Harvey Moeis selaku perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin (tengah) saat membacakan nota pembelaan (pleidoi) dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (18/12/2024). (Antara)

Ntvnews.id, Jakarta - Terdakwa Harvey Moeis, yang bertindak sebagai perwakilan dari PT Refined Bangka Tin (RBT), menegaskan bahwa dirinya, keluarganya, maupun terdakwa lainnya dalam kasus korupsi timah tidak pernah memiliki, melihat, atau menikmati uang senilai Rp300 triliun yang disebut dalam perkara tersebut.

"Angka itu 10 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kita mungkin, jadi saya mohon izin klarifikasi kepada masyarakat Indonesia bahwa kami tidak pernah menikmati uang sebesar itu," ujar Harvey saat membacakan nota pembelaan (pleidoi) dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu.

Baca juga: Trik Jitu Merayakan Natal dengan Anggaran Terbatas Namun Tetap Meriah

Harvey mengaku keberatan dengan perhitungan ahli dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terkait dugaan kerugian negara dalam kasus tersebut. Ia juga menyebut ahli yang bersaksi dalam sidang sebelumnya bertindak tidak profesional.

Menurut Harvey, sikap tidak profesional itu terlihat dari kesaksian yang dimulai dengan ungkapan ketidakpedulian terhadap aktivitas penambangan liar di Bangka Belitung. Selain itu, ahli tersebut enggan memberikan jawaban saat diminta penjelasan oleh terdakwa, penasihat hukum, masyarakat, hingga majelis hakim dalam persidangan.

"Ketika kami memohon hasil perhitungan ahli untuk lebih diteliti, permohonan tersebut ditolak mentah-mentah," tambahnya. "Sungguh sangat tidak etis untuk seorang ahli profesor," ungkap Harvey lebih lanjut.

Harvey pun merasa bingung terkait asal-usul perhitungan kerugian negara sebesar Rp300 triliun yang disebutkan dalam kasus ini. Ia bahkan menyebut bahwa auditor, jaksa, dan masyarakat telah "terkena prank" oleh ahli tersebut.

Halaman
x|close