Temui Komisi III DPR, PBHI Adukan Kasus Eks Pejabat KemenPANRB

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 24 Feb 2025, 17:44
thumbnail-author
Moh. Rizky
Penulis
thumbnail-author
Tasya Paramitha
Editor
Bagikan
PBHI mengadu ke Komisi III DPR RI. (YouTube) PBHI mengadu ke Komisi III DPR RI. (YouTube)

Ntvnews.id, Jakarta - Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) mengadu ke DPR RI, Senin, 24 Februari 2025. PBHI mengadu ke Komisi III DPR, terkait kasus yang menjerat eks Deputi KemenPANRB, Alex Denni.

Alex Denni diketahui ditangkap oleh Kejaksaan Negeri Kota Bandung, pada Jumat, 19 Juli 2024 silam. Ia merupakan terpidana sejak 2013 karena melakukan korupsi terkait pengadaan proyek Distinct Job Manual di perusahaan BUMN.

PBHI mendesak Komisi III DPR untuk menindaklanjuti dugaan ketidakadilan dalam kasus hukum yang menjerat Alex. 

Ketua PBHI, Julius Ibrani, menyoroti ketidakterbukaan dalam putusan pengadilan terkait kasus tersebut.

"Dari sembilan putusan yang berkaitan, tidak satu pun yang dipublikasikan di Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) atau Direktori Putusan Mahkamah Agung. Bahkan, satu putusan kasasi baru diunggah setelah kasus ini ramai diperbincangkan di media," ujarnya dalam rapat dengan Komisi III DPR, kompleks parlemen, Senayan, Jakarta. 

PBHI turut menyoroti pemisahan perkara atau splitsing, yang dinilai janggal. Dalam kasus ini, terdapat tiga terdakwa, yakni dua dari PT Telkom dan satu dari pihak swasta, Alex Denni.

Putusan untuk dua terdakwa BUMN keluar lebih cepat, sementara putusan terhadap Alex Denni tertunda hingga lima tahun kemudian.

"Dua terdakwa dari BUMN dinyatakan bebas, sementara Alex Denni dihukum dengan jeda waktu putusan yang jauh berbeda," kata dia.

Di samping itu, diduga ada pelanggaran administratif dalam putusan tersebut. Salah satu hakim yang menandatangani putusan diketahui telah meninggal sebelum putusan dibuat.

"Hakim militer juga ikut serta dalam memutus perkara yang seharusnya berada dalam ranah hukum perdata, dan Alex Denni tidak pernah menerima pemberitahuan putusan serta panggilan eksekusi," kata Julius.

Fakta persidangan pun menunjukkan proyek yang menjadi objek perkara tetap digunakan oleh perusahaan BUMN hingga kini. Dalam putusan pengadilan tinggi, disebutkan tak ada penyalahgunaan wewenang, administrasi proyek lengkap, dan tidak ditemukan kerugian negara.

PBHI mempertanyakan bagaimana mungkin Alex Denni tetap divonis bersalah apabila fakta tersebut diakui dalam putusan terdakwa lainnya.

Proses peninjauan kembali (PK) juga mengalami kendala. Sidang PK di Pengadilan Negeri Bandung telah selesai sejak 28 November 2023, tapi hingga kini belum ada nomor registrasi.

"Kami menemukan bahwa sistem digital (e-court) tidak bisa digunakan untuk menelusuri status PK. Ini menunjukkan ada permasalahan dalam sistem informasi perkara yang masih manual dan tidak akuntabel," kata Julius.

Karenanya, PBHI meminta Komisi III DPR RI untuk mengambil langkah konkret, termasuk mendorong transparansi putusan Mahkamah Agung dan pengadilan, mencegah disparitas putusan, serta memastikan digitalisasi peradilan berjalan akuntabel.

"Kami berharap DPR RI dapat memastikan pengajuan PK berjalan sesuai aturan, termasuk dalam kasus Alex Denni ini," kata dia.

Diketahui, Denni terjerat kasus korupsi saat masih menjabat Direktur Utama PT Parardhya Mitra Karti pada tahun 2003. Saat itu, Agus Utoyo dan Tengku Hedi Safinah selaku Direktur SDM Niskung serta Asisten Kebijakan SDM pada Direktorat SDM Niskung menunjuk perusahaan Alex sebagai konsultan analisa jabatan.

Proyek pengadaan jasa konsultan analisa jabatan tersebut dianggarkan sebesar Rp 5,7 miliar. Namun, berdasarkan hasil penelusuran, kejaksaan mengendus adanya kongkalikong dalam proyek itu. Kerugian negara akibat proyek ini mencapai Rp 2,7 miliar.

Sidang kasus ini digelar di Pengadilan Negeri pada 2006 silam. Putusannya dibacakan Pada 29 Oktober 2007. Majelis hakim memvonis Agus Utoyo, Tengku Hedi Safinah, dan Alex Denni 1 tahun penjara dan denda Rp 50 juta subsidair 3 bulan kurungan.

Denni dinyatakan majelis hakim terbukti bersalah melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Ia juga diputus untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 789 juta. Apabila uang pengganti itu tidak sanggup dibayar, maka akan diganti dengan hukuman penjara 6 bulan kurungan.

 

x|close