Ntvnews.id, Washington DC - Seorang peneliti asal Rusia yang bekerja di Harvard Medical School, Kseniia Petrova, ditahan setelah membawa embrio katak yang diklaim "tidak berbahaya" tanpa mencantumkannya dalam formulir bea cukai saat kembali ke Amerika Serikat dari Prancis.
Alih-alih hanya mendapat sanksi administratif, visa kunjungan pertukarannya dibatalkan dan ia langsung dimasukkan ke dalam tahanan.
Dilansir dari Reuters, Senin, 14 April 2025, pengacara Petrova, Greg Romanovsky, menilai langkah yang diambil otoritas AS sebagai hukuman yang tidak proporsional. Ia menjelaskan bahwa kesalahan kliennya murni tidak disengaja.
Departemen Keamanan Dalam Negeri, institusi tersebut tidak memberikan komentar langsung. Namun, mereka menyampaikan pesan kepada ABC News mengenai alasan penahanan Petrova.
Baca Juga: Trump Cabut Visa Mahasiswa Pro-Palestina dari Kampus-Kampus Terkenal AS
"Pesan-pesan yang ditemukan di ponsel (Petrova) mengungkap bahwa ia berencana menyelundupkan material tersebut melewati bea cukai tanpa mendeklarasikannya," demikian isi pesan tersebut.
Saat ini, Petrova ditahan di fasilitas Imigrasi dan Bea Cukai di Louisiana dan tengah menunggu sidang yang dijadwalkan pada 9 Juni, yang berpotensi berujung pada deportasinya ke Rusia.
Romanovsky menambahkan, kliennya kemungkinan menjadi sasaran karena vokal menyuarakan penolakan terhadap invasi Rusia ke Ukraina. “Penahanannya tidak hanya tidak perlu, tapi juga tidak adil,” ujarnya.
Namun, kasus Petrova bukanlah satu-satunya. Berdasarkan laporan CNN yang merujuk pada dokumen pengadilan, pernyataan para pengacara, serta pengumuman dari lebih dari 80 kampus di AS, tercatat lebih dari 525 visa milik mahasiswa, dosen, dan peneliti dicabut sepanjang tahun ini.
Menteri Luar Negeri Marco Rubio sebelumnya menyatakan bahwa pihaknya telah membatalkan lebih dari 300 visa, mayoritas merupakan visa pelajar.
Baca Juga: AS Periksa Medsos Pemohon Visa, Kritik Israel Auto Ditolak Masuk
Beberapa kasus awal yang mencuat melibatkan individu yang diduga mendukung kelompok teroris, seperti penangkapan Mahmoud Khalil usai demonstrasi pro-Palestina di Universitas Columbia. Namun, belakangan ini ancaman deportasi semakin sering terjadi atas alasan sepele, atau bahkan tanpa alasan jelas, menurut para pengacara imigrasi.
Peningkatan penargetan terhadap warga asing yang berafiliasi dengan universitas ternama AS ini berlangsung di tengah kebijakan keras imigrasi era pemerintahan Trump, termasuk penggunaan wewenang luas untuk menuduh migran sebagai anggota geng dan mendeportasi mereka tanpa proses pengadilan.
"Semua instrumen dalam undang-undang imigrasi sebenarnya sudah ada sebelumnya, tapi sekarang digunakan dengan cara yang menimbulkan kepanikan massal, kekacauan, dan ketakutan, dengan harapan para mahasiswa tidak mendapatkan bantuan hukum yang memadai dan pada akhirnya akan meninggalkan negara ini secara sukarela," ujar Jeff Joseph, presiden terpilih Asosiasi Pengacara Imigrasi Amerika.