Ntvnews.id
"Cuaca cerah hari ini menyambut kita di Bandung. Mungkin ini pertanda bahwa masa depan Indonesia juga akan cerah," ujar Wamenag dalam keterangannya di Jakarta, Kamis, 17 April 2025.
Pernyataan optimistis tersebut disampaikan Wakil Menteri Agama, Romo HR Muhammad Syafi’i, saat menjadi pembicara dalam Studium Generale bertema "Mewujudkan Ketahanan Nasional: Sinergi Generasi Muda dalam Mendukung Visi Indonesia Emas 2045", yang digelar di Aula Barat Institut Teknologi Bandung (ITB), Rabu, 16 April 2025.
Dalam kesempatan itu, turut dipaparkan data dari Labkurtannas Lemhannas RI yang menunjukkan bahwa ketahanan nasional Indonesia berada pada angka 2,87 — tergolong dalam kategori cukup tangguh.
Dari delapan gatra utama atau Asta Gatra, aspek sosial budaya tercatat sebagai yang terendah dengan skor 2,55. Sebaliknya, aspek demografi meraih nilai tertinggi yakni 3,20, menandakan potensi besar yang dimiliki Indonesia dari jumlah penduduk usia produktif atau yang dikenal sebagai bonus demografi.
Baca juga: Presiden Prabowo Gagas Program Apotek Desa, Ikatan Apoteker Indonesia Langsung Acungi Jempol
"Ketahanan sosial budaya adalah fondasi persatuan bangsa. Sebagai salah satu syarat memperkuat capaian ekonomi, politik, hingga pertahanan," kata Wamenag.
Dalam sesi diskusi, sejumlah mahasiswa menyoroti rendahnya ketahanan di bidang sosial budaya. Mereka mempertanyakan penyebab kondisi tersebut serta langkah konkret yang akan diambil pemerintah ke depan.
Menanggapi hal itu, Wakil Menteri Agama Romo HR Muhammad Syafi’i menjelaskan bahwa salah satu langkah strategis yang tengah dipertimbangkan adalah pembentukan Kementerian Kebudayaan. Inisiatif ini diyakini menjadi langkah awal untuk memperkuat jati diri bangsa, menanamkan kembali nilai-nilai luhur, serta memperluas jangkauan program sosial dan kebudayaan di tengah masyarakat.
"Ketahanan sosial budaya dibangun dari kesadaran akan siapa kita sebagai bangsa. Inilah mengapa Kementerian Kebudayaan menjadi pijakan awal untuk menjaga persatuan dan keberagaman," katanya.
Ia menegaskan bahwa memperkuat ketahanan nasional tidak cukup hanya dengan kebijakan strategis, tetapi juga membutuhkan pemahaman yang mendalam terhadap sejarah bangsa, konstitusi, dan nilai-nilai Pancasila yang menjadi fondasi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam kesempatan itu, Romo Syafi’i juga mengajak generasi muda untuk lebih waspada terhadap warisan pemikiran kolonial seperti "The strong do what they can, and the weak suffer what they must", serta taktik divide et impera atau adu domba.
Baca juga: Dari Timur Tengah ke Meja Dagang: Prabowo Cari Kawan di Tengah Tekanan
Menurutnya, cara terbaik untuk melawan itu semua adalah dengan memperkuat solidaritas bukan hanya antaridentitas, tapi juga antargenerasi demi menjaga keutuhan bangsa di tengah keberagaman yang ada.
"Generasi muda harus menjadi kekuatan pemersatu yang menjaga arah perjuangan bangsa demi keadilan, kemanusiaan, dan kemerdekaan sejati," katanya.
Salah satu poin penting yang disorot dalam paparannya adalah pentingnya penerapan Ekonomi Pancasila sebagai fondasi dalam menjalankan amanat Pasal 33 UUD 1945. Menurutnya, arah pembangunan ekonomi nasional tidak boleh semata-mata berorientasi pada inovasi pasar, tetapi harus tetap berpijak pada prinsip keadilan sosial dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
"Ekonomi Pancasila mendorong inovasi dan kebebasan pasar, namun tetap menempatkan negara sebagai pelindung kelompok masyarakat paling rentan," ujarnya.
Menurut Romo Syafi’i, sejumlah program prioritas yang diusung Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Prabowo-Gibran—seperti makan bergizi gratis dan sekolah rakyat merupakan contoh nyata dari upaya menjalankan prinsip tersebut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Baca juga: Soal Rencana Evakuasi 1.000 Warga Gaza, Kemhan Tunggu Arahan Prabowo
"Konstitusi kita menegaskan bahwa negara bukan hanya pelindung, tapi juga menjadi 'orang tua' bagi mereka yang tidak memiliki daya. Artinya, negara tidak boleh netral terhadap ketimpangan. Negara harus hadir, memberi makan, pendidikan, dan perlindungan bagi mereka yang paling rentan," ujar Romo Syafii.
Wakil Rektor Bidang Komunikasi, Kemitraan, Kealumnian, dan Administrasi (WRKMAA) ITB, Andryanto Rikrik Kusmara, menekankan bahwa forum seperti Studium Generale memiliki peran penting dalam membuka wawasan kebangsaan mahasiswa dan menumbuhkan kesadaran akan tanggung jawab mereka sebagai bagian dari masa depan bangsa.
Ia mengingatkan bahwa sejak 1945, Indonesia telah mengemban misi besar untuk menjadi negara yang maju dan sejahtera. Untuk mencapai cita-cita tersebut, dibutuhkan peran aktif dari seluruh elemen masyarakat—termasuk perguruan tinggi, mahasiswa, dan komunitas luas di luar kampus.
Rikrik menegaskan bahwa sinergi dan kolaborasi lintas sektor menjadi kunci dalam membangun kesadaran kolektif dan menyatukan langkah menuju arah perjuangan bangsa yang lebih terarah dan berkelanjutan.
"Kampus bukan hanya tempat belajar ilmu, tetapi juga ruang untuk membentuk kesadaran kebangsaan dan kontribusi nyata bagi masa depan Indonesia," ujarnya.
(Sumber: Antara)