PWI: Lama-lama Kejagung Baca dan Simpulkan Berita, Lalu Jadikan Wartawan Tersangka

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 22 Apr 2025, 12:14
thumbnail-author
Moh. Rizky
Penulis
thumbnail-author
Tasya Paramitha
Editor
Bagikan
Hendry Ch Bangun. Hendry Ch Bangun.

Ntvnews.id, Jakarta - Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Hendry Ch Bangun, prihatin terhadap penetapan tersangka dan penahanan Direktur Pemberitaan Jak TV Tian Bahtiar. Kejaksaan Agung (Kejagung) menuduh Tian membuat dan menyebarkan berita negatif terkait penyidikan Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam sejumlah kasus korupsi.

Menurut Hendry, kasus ini seharusnya diselesaikan melalui mekanisme etik pers, bukan langsung ditangkap atau dikriminalisasi.

“Menurut saya, berita itu masuk ranah etik, seberapa parah pun isinya. Kalau dianggap beritikad buruk, ya diberi hak jawab atau diminta minta maaf. Jika perlu, bisa dimintakan penilaian ke Dewan Pers. Bukan langsung ditangkap,” ujar Hendry, Selasa, 22 April 2025.

Pernyataan Hendry merespons penjelasan Kejaksaan seperti dimuat di media yang menyebut Tian Bahtiar menerima bayaran sebesar Rp478 juta untuk membuat dan menyebarkan berita yang dinilai menyudutkan Kejagung terkait tiga perkara besar, yakni korupsi timah, ekspor CPO dan importasi gula.

Hendry menegaskan, Kejagung tidak memiliki kompetensi menilai suatu karya jurnalistik. Menurutnya, lembaga yang berwenang untuk itu adalah Dewan Pers, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999.

“Penilaian terhadap berita, apakah itu negatif, beriktikad buruk, atau partisan, ada di tangan Dewan Pers. Bukan lembaga lain,” tegas Hendry yang juga merupakan Anggota Dewan Pers 2016-2019 dan Wakil Ketua Dewan Pers 2019-2022.

Ia juga mengingatkan bahwa antara Dewan Pers dan Polri, telah ada Nota Kesepahaman (MoU) bahkan diperkuat dengan Perjanjian Kerja Sama (PKS), yang menyepakati bahwa Dewan Pers harus terlebih dahulu dimintai pendapat jika ada pihak yang ingin mempidanakan karya jurnalistik.

“MoU dan PKS ini mengikat semua pihak. Kejaksaan Agung seharusnya menghormatinya, bukan langsung menahan wartawan tanpa melibatkan Dewan Pers,” ujar Hendry.

Terkait tuduhan adanya bayaran yang masuk ke rekening pribadi Tian Bahtiar, Hendry menyatakan bahwa hal itu seharusnya terlebih dahulu diklarifikasi kepada manajemen media tempatnya bekerja. Jika terbukti menyimpang, maka sanksi administratif bisa dijatuhkan oleh atasannya, misalnya berupa skorsing.

“Kalau berita dianggap obstruction of justice, itu penilaian yang keliru. Pers punya hak untuk melakukan kontrol terhadap kekuasaan. Kalau pun ada itikad buruk, harus dibuktikan melalui mekanisme etik, bukan langsung diproses pidana,” jelasnya.

Hendry menegaskan bahwa jika pendekatan semacam ini terus dilakukan, akan ada risiko kriminalisasi terhadap pers.

“Lama-lama Kejaksaan bisa baca berita satu per satu, lalu menyimpulkan sendiri dan menjadikan wartawan tersangka,” jelasnya. 

Hendry pun berharap Kejaksaan Agung bersikap bijak.

“PWI Pusat berharap Kejaksaan Agung menghargai UU Pers, yang seperti disampaikan Presiden Prabowo Subianto saat berkunjung ke PWI, merupakan bagian penting dari demokrasi yang kita anut,” jelas Hendry.

Sebelumnya, Kejagung menetapkan Direktur Jak TV Tian Bahtiar sebagai tersangka perintangan penyidikan sejumlah perkara korupsi. Perintangan yang dimaksud, ialah membuat dan menyebarkan berita yang dianggap menyudutkan Kejagung.

Berita itu, disebut Kejagung hasil pesanan dari dua pengacara yakni Marcella Santoso dan Junaedi Saibih. Atas aksinya, Tian disebut Kejagung menerima imbalan ratusan juta rupiah dari advokat tersebut.

Atas perbuatannya, Tian, Marcella dan Junaedi ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan. Ketiganya dijerat Pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

 

x|close