Ntvnews.id, Gaza - Hamas menyatakan siap mencapai kesepakatan untuk mengakhiri konflik di Gaza, Palestina, dan bersedia membebaskan seluruh sandera sebagai imbalan atas gencatan senjata selama lima tahun.
Dilansir dari AFP, Senin, 28 April 2025, delegasi Hamas telah berada di Kairo, Mesir, untuk berdialog dengan para mediator guna mencari solusi atas perang yang telah berlangsung 18 bulan dengan Israel. Konflik ini telah menyebabkan lebih dari 51 ribu korban jiwa di Gaza.
Negosiasi terkait gencatan senjata kini berpacu dengan waktu seiring memburuknya situasi di Gaza, di mana persediaan makanan dan obat-obatan semakin menipis.
Seorang pejabat Hamas yang enggan disebutkan namanya menyampaikan kepada AFP bahwa pihaknya siap melakukan pertukaran tahanan secara keseluruhan dan menerapkan gencatan senjata lima tahun dengan Israel. Tawaran baru ini muncul setelah proposal sebelumnya untuk mengakhiri perang ditolak oleh Israel pada awal bulan ini.
Proposal yang ditolak tersebut mengusulkan kesepakatan "komprehensif" untuk mengakhiri konflik yang dimulai sejak 7 Oktober 2023. Menurut seorang pejabat senior Hamas, tawaran itu termasuk gencatan senjata 45 hari dan pertukaran 10 sandera yang masih hidup.
Baca Juga: Bertemu di Gedung Putih, Trump dan Netanyahu Bahas Gencatan Senjata Israel-Hamas
Hamas tetap menginginkan setiap kesepakatan gencatan senjata berujung pada penghentian total perang, penarikan pasukan Israel dari Jalur Gaza, serta peningkatan bantuan kemanusiaan.
Sesuai rencana yang pernah dijabarkan Presiden AS Joe Biden, fase kedua gencatan senjata seharusnya mencakup penghentian perang permanen dan penarikan Israel, setelah fase pertama yang mulai berlaku pada 19 Januari 2025 namun runtuh dua bulan kemudian.
Hamas terus berusaha memulai fase kedua, sementara Israel mendorong perpanjangan fase pertama. Israel menuntut pembebasan semua sandera dan perlucutan senjata Hamas, tuntutan yang ditolak keras oleh Hamas sebagai "garis merah".
Anggota pasukan Brigade Al Qassam, sayap militer kelompok perlawanan Hamas Palestina. (Antara)
"Kali ini kami akan meminta jaminan bahwa perang benar-benar berakhir. Penjajah mungkin bisa melanjutkan perang jika hanya kesepakatan parsial, tetapi tidak jika ada kesepakatan komprehensif dengan jaminan internasional," ujar Mahmud Mardawi, pejabat senior Hamas.
Sementara itu, Osama Hamdan, pejabat senior lainnya, menegaskan bahwa Hamas hanya akan mempertimbangkan proposal yang mencakup penghentian total dan permanen perang. Mereka juga menolak menyerahkan senjata selama penjajahan Israel masih berlangsung.
"Kami tidak akan meletakkan senjata perlawanan selama penjajahan tetap ada," tegas Hamdan.
Baca Juga: Hamas Tembakkan Roket ke Kota-kota Israel
Di sisi lain, Israel terus melancarkan serangan ke Gaza. Pada Sabtu, 26 April 2025, serangan Israel di Gaza utara menewaskan setidaknya 36 orang. Salah satu korban selamat, Umm Walid al-Khour, mengisahkan bahwa banyak warga yang tertimpa reruntuhan rumah saat tengah tidur bersama anak-anak mereka. Di wilayah lain, 25 orang juga dilaporkan tewas.
Militer Israel tidak langsung mengomentari serangan terbaru tersebut, tetapi mengklaim telah menyerang 1.800 "target teror" di seluruh Gaza sejak operasi dimulai kembali pada 18 Maret, serta menewaskan ratusan militan.
Qatar, Amerika Serikat, dan Mesir sebelumnya memediasi gencatan senjata yang mulai berlaku 19 Januari, memungkinkan bantuan kemanusiaan masuk serta pertukaran sandera dan tahanan Palestina. Namun, ketidaksepakatan antara Israel dan Hamas terkait kelanjutan kesepakatan ini menyebabkan Israel menghentikan akses bantuan dan melanjutkan serangan.
Presiden Palestina Mahmoud Abbas turut angkat suara, menyerukan Hamas untuk menyerahkan kendali atas Gaza kepada Otoritas Palestina, menyerahkan senjata, membebaskan sandera Israel, serta mengubah Hamas menjadi partai politik.
"Hamas telah memberikan alasan kepada pendudukan kriminal untuk melakukan kejahatan di Gaza, salah satunya dengan menahan sandera," ujar Abbas dalam pidato yang disiarkan televisi dan dikutip Al Arabiya.
Baca Juga: Hamas Bersiap Bertempur di Tengah Masalah Negosiasi
Abbas menekankan bahwa rakyat Palestina yang menanggung penderitaan akibat konflik ini. Ia mendesak Hamas untuk segera membebaskan sandera demi menghilangkan dalih Israel untuk menyerang Gaza.
"Saya yang menanggung akibatnya, rakyat kami yang membayar harga, bukan Israel. Saudara-saudaraku, bebaskan mereka," ucap Abbas.
Pernyataan ini disampaikan Abbas dalam pertemuan di Ramallah, Tepi Barat, di mana ia juga diperkirakan akan menunjuk calon penggantinya, sebagai upaya memperkuat posisi Otoritas Palestina di tengah situasi regional yang kritis.
Abbas juga mengecam serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023 yang menurutnya telah memberi Israel alasan untuk melancarkan serangan besar-besaran ke Gaza. Ia menuding Hamas sebagai penghalang upaya perdamaian dan menuduh kelompok itu menekan faksi-faksi lain di Tepi Barat.
Hamas hingga kini belum memberikan tanggapan atas pernyataan terbaru Abbas.
Dalam pidatonya, Abbas mendesak komunitas internasional untuk menekan Israel menghentikan perang, menarik pasukan, dan menghentikan pembangunan permukiman Yahudi. Ia juga menegaskan tidak akan ada perdamaian tanpa pembentukan negara Palestina berdasarkan perbatasan sebelum perang Timur Tengah tahun 1967.