Putusan Terbaru MK: Kerusuhan di Ruang Digital Tidak Tergolong Tindak Pidana UU ITE

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 30 Apr 2025, 10:30
thumbnail-author
Dedi
Penulis
thumbnail-author
Beno Junianto
Editor
Bagikan
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). (Antara)

Ntvnews.id, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menetapkan bahwa keributan atau kerusuhan yang terjadi di ruang digital, seperti media sosial, tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana berdasarkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Keputusan ini dibacakan oleh Ketua MK, Suhartoyo, dalam sidang pembacaan putusan perkara nomor 115/PUU-XXII/2024 yang berlangsung di Gedung MK, Jakarta Pusat, yang dilaksanakan pada Selasa, 30 April 2025.

Dalam amar putusannya, MK menyatakan bahwa penggunaan kata "kerusuhan" dalam Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 45A ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 dinilai bertentangan dengan konstitusi.

"Menyatakan kata 'kerusuhan' dalam Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 45A ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6905) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945," ujar Suhartoyo saat membacakan putusan.

MK juga menegaskan bahwa ketentuan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali jika ditafsirkan secara spesifik bahwa yang dimaksud "kerusuhan" adalah gangguan terhadap ketertiban umum di dunia nyata, bukan di ruang digital.

"Dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai 'kerusuhan adalah kondisi yang mengganggu ketertiban umum di ruang fisik, bukan kondisi di ruang digital/siber,'" lanjutnya.

Sebagai informasi, Pasal 28 ayat (3) UU ITE menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja menyebarkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang diketahui memuat pemberitaan bohong dan menimbulkan kerusuhan di masyarakat dapat dikenai sanksi pidana. Namun MK menilai bahwa definisi kerusuhan dalam konteks ini terlalu luas dan tidak memiliki parameter yang jelas.

Hakim Konstitusi Arsul Sani turut menambahkan bahwa ketentuan tersebut sudah tidak relevan dengan perkembangan teknologi dan dinamika sosial saat ini.

“Sepanjang tidak dimaknai 'kerusuhan' adalah kondisi yang mengganggu ketertiban umum di ruang fisik, bukan kondisi di ruang digital/siber,” tegas Arsul.

Menurut Arsul, masyarakat saat ini memiliki akses yang sangat luas terhadap berbagai informasi, terutama melalui media sosial. Oleh karena itu, ekspresi kritik terhadap pemerintah seharusnya tidak serta-merta dianggap sebagai penyebab kerusuhan yang layak dipidana.

“Sehingga dinamika yang terjadi dalam mengeluarkan pendapat dan kritik berkenaan dengan kebijakan pemerintah di ruang publik, seyogianya disikapi sebagai bagian dari dinamika demokrasi yang merupakan pengejawantahan dari partisipasi publik dan bukan serta merta dianggap sebagai unsur yang menjadi penyebab keonaran yang dapat dikenakan proses pidana oleh aparat penegak hukum,” terang Arsul.

Putusan ini menjadi tonggak penting dalam perlindungan kebebasan berekspresi di era digital. Dengan dihapusnya makna "kerusuhan" yang berkaitan dengan aktivitas di dunia maya dari delik pidana, masyarakat kini memiliki ruang yang lebih aman untuk menyampaikan opini dan kritik, asalkan tidak melanggar ketentuan hukum lain seperti penyebaran hoaks atau ujaran kebencian berbasis SARA.

x|close