Ntvnews.id, Jakarta - Osteoporosis bukan hanya penyakit lansia. Anak-anak pun bisa mengalaminya sejak dalam kandungan, seperti pada osteogenesis imperfecta (OI), kelainan langka yang membuat tulang anak sangat rapuh.
Pada tahun 2023, UKK Endokrinologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mencatat di Indonesia ada 170 kasus dalam 10 tahun terakhir. Namun, tanpa sistem registri nasional dan belum masuknya OI dalam pelaporan rutin fasilitas kesehatan, jumlah kasus sangat mungkin jauh lebih tinggi. Padahal, tanpa deteksi dan terapi dini, dampaknya besar terhadap tumbuh kembang dan kualitas hidup anak.
Baca Juga: VIDEO: Fakta Mengerikan Kebakaran Hebat Hantam Gudang Sparepart Cideng
Untuk mendorong kesadaran publik serta membuka ruang advokasi kebijakan yang lebih inklusif, Yayasan Kesehatan Anak Global (YKAG) bersama Komisi Nasional Disabilitas Republik Indonesia menggelar webinar Wishbone Day 2025 bertajuk “Apakah Anak Bisa Terkena Osteoporosis?”.
Kegiatan ini menjadi langkah penting dalam menjembatani informasi medis dan mengumpulkan dukungan lintas sektor agar OI dapat lebih dini dikenali, tercatat, dan ditangani dalam sistem kesehatan nasional. Webinar ini juga menghadirkan Forum Osteogenesis Imperfecta (FOSTEO), komunitas anak-anak dan keluarga dengan osteogenesis imperfecta (OI).
Wishbone Day 2025: Anak Juga Bisa Osteoporosis, Saatnya Peduli Sejak Dini (Istimewa)
Prof. Dr. dr. Aman Pulungan, Sp.A, Subsp.End selaku Ketua YKAG membuka webinar dengan penegasan bahwa anak-anak juga bisa mengalami osteoporosis bahkan sebelum mereka lahir. “Anak dengan OI bisa mengalami patah tulang bahkan saat proses persalinan. Saat lahir, mereka bisa terus menangis karena kesakitan. Tapi dengan deteksi dini serta penanganan dan dukungan yang tepat, mereka bisa tumbuh, belajar, dan menjadi anak yang sama hebatnya dengan yang lain. Kita hanya perlu memberi ruang dan dukungan,” ujar Prof. Aman.
Mewakili Direktur Jenderal Kesehatan Primer dan Komunitas Kementerian Kesehatan RI, dr. Lovely Daisy, M.KM, Direktur Pelayanan Kesehatan Keluarga, menyampaikan bahwa. “Kami sangat menyambut baik diadakannya webinar ini untuk memberikan informasi yang lebih luas kepada masyarakat. Kami berharap anak dengan kerapuhan tulang sejak lahir seperti Osteogenesis Imperfekta dapat terdeteksi lebih dini, sehingga intervensi bisa dilakukan lebih cepat dan efektif, agar tumbuh kembang anak optimal” jelasnya. Disamping itu, saat ini pemerintah juga tengah menjalankan program Cek Kesehatan Gratis (CKG) sebagai bagian dari upaya deteksi dini berbagai kondisi kesehatan sejak awal kehidupan.
Dr. dr. Agustini Utari, M.Si.Med, Sp.A, SubSp.End dari Ikatan Dokter Anak Indonesia menjelaskan bahwa diagnosis dan penanganan Osteogenesis Imperfekta saat ini sudah dapat dilakukan oleh dokter anak di Indonesia. “Evaluasi klinis bisa membantu penegakan diagnosis dan pemilihan tatalaksana yang komprehensif. Dengan tata laksana yang tepat, anak dengan OI tetap bisa memiliki kualitas hidup yang lebih baik,” ujarnya.
Dalam sesi edukatif, dr. Ghaisani Fadiana, Sp.A, Subsp.End menyampaikan materi “Memahami Osteogenesis Imperfekta: Panduan untuk Orang Tua dan Keluarga”. Ia menekankan pentingnya peran keluarga dan tenaga kesehatan dalam mendampingi tumbuh kembang anak dengan OI. “Tulang yang rapuh bukan berarti harapan yang rapuh. Dengan terapi tepat dan dukungan lingkungan sekitar, anak-anak ini bisa tumbuh dengan percaya diri,” katanya.
Reny Novita, salah satu orang tua anak dengan OI berbagi harapan, “Kami tidak ingin anak kami hanya dikenal lewat kelainan tulangnya. Kami ingin dia dikenal karena mimpinya, karena semangatnya. Semoga Indonesia menjadi tempat yang menerima dan mendukung anak-anak seperti dia, sejak lahir hingga dewasa.”