Ntvnews.id, Jakarta - Bencana tanah longsor melanda kawasan Longdot, Komplek Perumahan Kodim Waisai di Distrik Waigeo Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat Daya, pada Senin, 2 Juni 2025 dini hari. Bencana ini dipicu oleh hujan ekstrem yang mengguyur wilayah tersebut secara terus-menerus.
Tanah longsor ini memiliki dimensi signifikan, lebar sekitar 15 meter, tinggi 30 meter, dan panjang mencapai 39 meter. Sebanyak 15 rumah warga terdampak, dengan kerusakan mulai dari ringan hingga berat.
Meskipun tidak ada korban jiwa, puluhan warga terpaksa mengungsi dan meninggalkan rumah mereka. Tim tanggap darurat telah diterjunkan ke lokasi untuk melakukan kaji cepat dan asesmen dampak bencana, serta menyalurkan bantuan logistik seperti makanan, air bersih, dan layanan kesehatan dasar.
Di tengah upaya pemulihan pasca-bencana, masyarakat Raja Ampat juga menghadapi ancaman lain: ekspansi pertambangan nikel yang menuai penolakan luas. Masyarakat adat Suku Kawei dan pelaku usaha wisata menolak kehadiran tambang nikel di wilayah mereka.
Penolakan tersebut lantaran nickel dianggap mengancam kelestarian lingkungan dan mata pencaharian masyarakat. Aksi penolakan dilakukan dengan pemasangan baliho di sejumlah titik sentral di kabupaten Raja Ampat, seperti pelabuhan Waisai.
“Menolak keras aktivitas tambang di Raja Ampat, karena akan merusak pariwisata Raja Ampat dan akan meninggalkan air mata bagi anak cucu kita,” demikian bunyi petisi penolakan tambang nikel di Raja Ampat, dilansir pada Kamis, 5 Juni 2025.
Masyarakat adat Suku Kawei, sebagai pemilik hak ulayat di Pulau Batan Pelei dan Manyaifun, menolak kehadiran PT Mulia Raymond Perkasa yang telah mengantongi izin usaha pertambangan seluas 2.194 hektare.
Mereka menganggap aktivitas tambang ini sebagai ancaman serius terhadap ekosistem, pariwisata, dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat setempat.
Ketua GRD Komite Kabupaten Raja Ampat, Yohan Sauyai, dalam press releasenya tertanggal 19 Maret 2025, menuntut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan agar tidak memberikan Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan untuk kepentingan pertambangan PT Mulia Raymond Perkasa di Pulau Batan Pelei dan Manyaifun.
Mereka juga mendesak Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral untuk mencabut izin usaha pertambangan perusahaan tersebut. Penolakan terhadap tambang nikel di Raja Ampat bukan hanya isu lokal, tetapi juga menjadi peringatan bagi kelestarian salah satu ekosistem laut terbaik di dunia.
Masyarakat adat bersama aktivis lingkungan menegaskan bahwa pertambangan di wilayah ini tidak hanya merusak alam, tetapi juga berpotensi menimbulkan konflik sosial. Warga yang selama ini menggantungkan hidup dari sektor perikanan, pertanian, dan pariwisata akan kehilangan mata pencaharian mereka.
Dengan adanya bencana alam dan ancaman pertambangan, masyarakat Raja Ampat berharap pemerintah pusat dan daerah segera mengambil sikap tegas untuk melindungi lingkungan dan kehidupan masyarakat setempat.
(Sumber: Antara)