Ntvnews.id, Jakarta - Dalam upaya menekan pencemaran plastik yang mencemari sejumlah destinasi wisata populer, Pemerintah Provinsi Bali berencana melarang produksi botol air mineral dalam kemasan berkapasitas kurang dari satu liter.
Kebijakan ini diumumkan langsung oleh Gubernur Bali, I Wayan Koster, dalam pertemuan dengan sejumlah produsen air kemasan yang digelar bulan lalu di Denpasar, ibu kota provinsi. Larangan tersebut dijadwalkan mulai berlaku pada Januari 2026 sebagai langkah konkret menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan Pulau Dewata.
Ia mengungkapkan bahwa hampir seluruh tempat pembuangan akhir (TPA) di Bali kini telah penuh, di mana sebagian besar sampah yang menumpuk berasal dari plastik sekali pakai terutama botol air mineral kemasan.
"Para pelaku usaha harus segera menghentikan produksi mereka dan menjual stok yang tersisa. Per tahun depan, botol air mineral (dalam kemasan) di bawah satu liter tidak akan lagi diedarkan di seluruh Bali," tegasnya, Kamis, 5 Juni 2025, sembari menekankan bahwa pemerintah pusat mendukung rencana itu.
Baca juga: Susi Pudjiastuti Geram Lihat Pantai Dipenuhi Sampah
"Bali merupakan tempat yang dikagumi berkat budaya dan alamnya. Jika penuh dengan sampah, siapa yang akan berkunjung? Jika wisatawan menghilang, ekonomi akan berhenti tumbuh," ujar Koster dengan harap bahwa kebijakan tersebut akan menjadikan Bali sebagai contoh pengadopsian kebijakan ramah lingkungan untuk kota lain di Indonesia.
Pada April lalu, Pemerintah Provinsi Bali mengeluarkan surat edaran yang menekankan pentingnya pengurangan plastik sekali pakai. Melalui surat tersebut, penggunaan plastik seperti kantong belanja dan sedotan resmi dilarang di berbagai lokasi, mulai dari kantor pemerintahan, pasar, tempat usaha, lembaga publik, hingga rumah ibadah.
Tak hanya itu, para pengelola tempat-tempat tersebut juga diwajibkan untuk menerapkan sistem pengelolaan limbah dan polusi yang memadai, seperti pemilahan sampah, pengomposan limbah organik, serta penyediaan fasilitas daur ulang untuk sampah anorganik.
Pemerintah Bali tak main-main dalam menegakkan kebijakan ini. Bagi pelaku usaha yang melanggar, izin operasional mereka terancam dicabut. Sementara itu, desa-desa yang mengabaikan aturan ini berpotensi kehilangan akses terhadap bantuan sosial dari pemerintah.
Baca juga: VIDEO: Parung Darurat Sampah! Berserakan di Tepi Jalan Tercium Aroma Busuk
Data dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional milik Kementerian Lingkungan Hidup RI mencatat, pada tahun lalu saja, Bali menghasilkan sekitar 1,2 juta ton sampah. Denpasar menjadi penyumbang terbesar, dengan volume limbah mencapai sekitar 360.000 ton.
Pada Februari lalu, Institute for Essential Services Reform (IESR) lembaga kajian kebijakan energi dan iklim yang berbasis di Jakarta melaporkan bahwa volume sampah di Bali melonjak hingga 30 persen dalam rentang waktu 2000 hingga 2024. Kenaikan ini sebagian besar disebabkan oleh rendahnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pengelolaan sampah yang baik.
"Meningkatnya tumpukan sampah, yang tidak dibarengi dengan kemampuan pengelolaan atau ketersediaan infrastruktur sampah di Bali, menyebabkan TPA-TPA tersebut tidak mampu lagi untuk mengakomodasi peningkatan volume sampah," kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.
Koster juga mendorong para produsen air mineral dalam kemasan untuk berinovasi dan berkreasi dalam mendukung upaya menjaga Bali tetap bersih dari polusi dan tumpukan sampah.
"Banyak negara telah menyatakan apresiasi mereka terhadap pelarangan tersebut. Ini bukanlah pelarangan biasa. Ini merupakan langkah strategis bagi Bali untuk menjadi contoh global," kata Koster.
(Sumber: Antara)