Ntvnews.id, Jakarta - Sebuah tragedi memilukan dialami seorang perempuan di Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur. Alih-alih mendapatkan perlindungan hukum, ia justru kembali menjadi korban pemerkosaan dari seorang anggota polisi yang seharusnya menjadi tempatnya mencari keadilan.
Peristiwa memilukan ini terjadi saat korban hendak melaporkan kasus pemerkosaan yang dialaminya ke Polsek Wewewa Selatan pada 1 Maret 2025. Bukannya mendapatkan respons profesional, korban justru dihadapkan pada tindakan bejat yang tak kalah traumatis.
Kapolres Sumba Barat Daya, AKBP Harianto Rantesalu, mengungkapkan bahwa korban pertama kali datang ke kantor polisi untuk melaporkan tindak pemerkosaan yang menimpanya. Di sana, ia berinteraksi dengan anggota polisi berinisial Aipda PS, yang saat itu menjabat di Polsek Wewewa Selatan.
Karena polsek tersebut tidak memiliki unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), Aipda PS meminta korban untuk datang kembali keesokan harinya agar laporan bisa diproses lebih lanjut di tingkat Polres. Namun, niat untuk membantu itu berubah menjadi kedok belaka.
Pada 2 Maret, Aipda PS menjemput korban langsung dari rumahnya dengan alasan melakukan pemeriksaan tambahan. Bukannya membawa korban ke kantor Polres seperti dijanjikan, pelaku justru memperkosa korban dalam proses tersebut. Tindakan itu dilakukan di lingkungan Polsek Wewewa Selatan, tempat korban semestinya merasa aman.
"Pada tanggal 2 Maret keesokan harinya Aipda PS menjemput korban dengan alasan pemeriksaan tambahan kemudian dibawa ke polsek," ujar Kapolres Harianto dalam keterangannya yang dilansir pada Selasa, 10 Juni 2025.
Ia menegaskan bahwa pihaknya telah melakukan investigasi menyeluruh terkait insiden tersebut. Setelah penyelidikan internal, diketahui bahwa Aipda PS telah mengakui perbuatannya. Kini, dia ditempatkan dalam penempatan khusus (patsus) selama 30 hari sebagai bagian dari proses etik dan disipliner.
"Pelaku sudah mengakui perbuatannya," tegas Harianto.
Kasus ini pun telah resmi naik ke tahap penyidikan, dan Aipda PS dipastikan akan diproses sesuai hukum yang berlaku, baik secara pidana maupun etik kepolisian.
Tragedi ini menyoroti kerentanan korban kekerasan seksual dalam sistem hukum, terlebih ketika pelindung hukum justru menjadi pelaku. Masyarakat dan aktivis hak perempuan pun mendesak agar kasus ini dijadikan momen pembenahan serius terhadap perlindungan korban kekerasan seksual, terutama di institusi penegak hukum.