Dirjen Adwil Kemendagri Ungkap Kronologi Sengketa Kepemilikan 4 Pulau Aceh-Sumut

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 11 Jun 2025, 23:00
thumbnail-author
Devona Rahmadhanty
Penulis
thumbnail-author
Tasya Paramitha
Editor
Bagikan
Di Jakarta, Rabu 11 Juni 2025, Safrizal Zakaria Ali, Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri, memberikan keterangan kepada wartawan. Di Jakarta, Rabu 11 Juni 2025, Safrizal Zakaria Ali, Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri, memberikan keterangan kepada wartawan. ((ANTARA/Fianda Sjofjan Rassat))

Ntvnews.id, Jakarta -  Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan (Adwil) Kemendagri, Safrizal Zakaria Ali, akhirnya angkat bicara terkait polemik kepemilikan empat pulau yang diperebutkan antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara.

Ia menjelaskan, persoalan ini bermula pada tahun 2008 ketika Tim Nasional Pembakuan Rupa Bumi yang melibatkan berbagai kementerian dan lembaga negara melakukan verifikasi terhadap keberadaan pulau-pulau di seluruh Indonesia.

"Di Banda Aceh, tahun 2008, Tim Nasional Pembakuan Rupa Bumi, kemudian memverifikasi dan membakukan sebanyak 260 pulau di Aceh, namun tidak terdapat empat pulau, Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Pulau Lipan, Pulau Panjang," ujar Safrizal pada Rabu, 11 Juni 2025 di kantor Kementerian Dalam Negeri, Jakarta.

Hasil verifikasi tersebut kemudian mendapat konfirmasi resmi dari Gubernur Aceh saat itu pada 4 November 2009. Dalam surat tersebut, disebutkan bahwa Provinsi Aceh terdiri atas 260 pulau.

Menariknya, dalam lampiran surat itu juga tercantum sejumlah perubahan nama pulau. Misalnya, Pulau Rangit Besar berganti nama menjadi Pulau Mangkir Besar, Pulau Rangit Kecil menjadi Pulau Mangkir Kecil, dan Pulau Malelo diubah menjadi Pulau Lipan. Perubahan nama tersebut turut disertai dengan penyesuaian titik koordinat lokasi masing-masing pulau.

"Jadi setelah konfirmasi 2008, di 2009 dikonfirmasi terjadi perubahan nama dan perpindahan koordinat," katanya. 

Sementara itu, dalam proses identifikasi dan verifikasi yang dilakukan di wilayah Sumatera Utara pada tahun 2008, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara melaporkan keberadaan 213 pulau. Menariknya, di antara jumlah tersebut tercantum empat pulau yang kini menjadi objek sengketa dengan Provinsi Aceh.

Baca juga: Kemendagri Mediasi Gubernur Aceh dan Sumut Demi Akhiri Status Pulau

"Pemda Sumatera Utara memverifikasi, membakukan sebanyak 213 pulau di Sumatera Utara, termasuk empat pulau, yaitu Pulau Mangkir Besar, koordinat sekian, Pulau Mangkir Kecil, koordinat sekian, Pulau Lipan, koordinat sekian, dan Pulau Panjang, koordinat di sekian," kata Syafrizal.

Setahun kemudian, pada 2009, hasil verifikasi Tim Nasional Pembakuan Rupa Bumi di wilayah Sumatera Utara mendapat pengesahan dari Gubernur Sumatera Utara saat itu. Dalam konfirmasinya, disebutkan bahwa provinsi tersebut memiliki 213 pulau, termasuk empat pulau yang kini menjadi titik sengketa dengan Aceh.

Adapun Tim Nasional Pembakuan Rupa Bumi ini merupakan gabungan dari berbagai instansi, seperti Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Informasi Geospasial, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Pusat Hidrografi dan Oseanografi TNI AL, Direktorat Topografi TNI AD, serta pemerintah provinsi dan kabupaten terkait.

Hasil konfirmasi dari Gubernur Aceh dan Gubernur Sumatera Utara, ditambah dengan pelaporan resmi ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 2012, akhirnya menetapkan bahwa keempat pulau yang disengketakan masuk dalam wilayah administrasi Provinsi Sumatera Utara.

Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, sebelumnya juga menegaskan bahwa Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek tidak lagi menjadi bagian dari Provinsi Aceh. Keempatnya kini secara administratif berada di wilayah Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.

Tito menambahkan, persoalan ini memiliki sejarah yang cukup panjang, bahkan telah memunculkan perdebatan sejak tahun 1928, serta melibatkan berbagai pihak dan instansi dari waktu ke waktu.

"Dari tahun 1928 persoalan ini sudah ada. Prosesnya sangat panjang, bahkan jauh sebelum saya menjabat. Sudah berkali-kali difasilitasi rapat oleh berbagai kementerian dan lembaga," katanya. 

Tito menegaskan bahwa persoalan batas wilayah bukan hanya terjadi antara Aceh dan Sumatera Utara. Ia menyebut, kasus serupa masih marak di berbagai daerah, bahkan jumlahnya mencapai ratusan di seluruh Indonesia.

Baca juga: Bobby Datangi Gubernur Aceh, Bahas Pengelolaan 4 Pulau

Dirinya mengungkapkan bahwa dari sekitar 70 ribu desa yang ada, baru sekitar seribu desa yang batas wilayahnya telah terselesaikan secara hukum. 

Ia menekankan pentingnya penetapan batas wilayah secara jelas, karena hal ini berkaitan erat dengan kepastian hukum, perhitungan Dana Alokasi Umum (DAU), pengelolaan tata ruang, hingga perencanaan pembangunan daerah.

Tito juga mengingatkan bahwa ketidakjelasan batas wilayah bisa berdampak serius. Jika pembangunan dilakukan di area yang masih disengketakan, hal itu berpotensi menjadi temuan dalam audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

“Kalau satu wilayah membangun, padahal status lahannya masuk dalam sengketa, itu bisa jadi masalah hukum. Batas wilayah harus ada kejelasan agar tidak menimbulkan persoalan administrasi ke depannya,” ujarnya. 

Terkait empat pulau yang menjadi objek sengketa, Tito menjelaskan bahwa batas darat antara Kabupaten Aceh Singkil dan Kabupaten Tapanuli Tengah telah diteliti secara menyeluruh oleh Badan Informasi Geospasial (BIG), TNI Angkatan Laut, serta Topografi TNI Angkatan Darat. Berdasarkan hasil kajian tersebut, pemerintah pusat menetapkan bahwa keempat pulau tersebut masuk dalam wilayah administratif Sumatera Utara.

Tito menambahkan, keputusan ini kemudian diformalkan melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) pada tahun 2022 dan kembali ditegaskan pada April 2025.

"Keputusan ini sudah ditandatangani oleh kedua belah pihak," ujarnya. 

Meski batas darat telah ditetapkan, persoalan batas laut antara Aceh dan Sumatera Utara masih belum mencapai kesepakatan. Karena belum ada titik temu, Tito menyebut bahwa kewenangan untuk mengambil keputusan akhir diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah pusat.

Ia juga menambahkan bahwa penetapan nama wilayah sudah dilakukan, namun proses penyelesaian batas wilayah secara menyeluruh masih terus berjalan. 

Baca juga: Sengketa Pulau Aceh-Sumut, DPR Duga Ada Sumber Gas Triliunan Rupiah

(Sumber: Antara) 

x|close