Ntvnews.id, Jakarta - Kementerian Kehutanan (Kemenhut) Republik Indonesia bersama sejumlah instansi terkait resmi menutup secara permanen sembilan titik lokasi ilegal di kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Megamendung, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat.
"Penutupan kawasan ini merupakan upaya penyelamatan hutan dalam konteks TWA Megamendung di Provinsi Sumatera Barat," kata Direktur Pencegahan dan Penanganan Pengaduan Kehutanan Kemenhut RI Yazid Nurhuda di Kabupaten Tanah Datar, Rabu, 25 Juni 2025.
Penutupan sembilan titik di kawasan TWA Megamendung tersebut ditandai dengan penyegelan, pemasangan papan informasi berisikan larangan aktivitas hingga pemblokiran jalan masuk ke taman wisata air menggunakan batuan besar.
Namun upaya pemblokiran jalan menggunakan batuan sungai itu terhenti karena masyarakat bersama Wali Nagari Singgalang dan pemuka adat menolak. Setelah negosiasi yang cukup alot pihak terkait bersepakat tidak boleh ada aktivitas apapun terutama wisata pemandian hingga berdagang di lokasi itu.
Yazid menjelaskan penghentian seluruh aktivitas wisata dan sejenisnya yang berada di dalam luasan sekitar 12 Hektare (Ha) itu sudah mengacu kepada aturan perundang-undangan.
Baca Juga: Kemenhut Amankan Pelaku Perambah 4 Hektare Lahan di Taman Nasional Berbak Sembilang
"Jadi, semua aktivitas di kawasan TWA ini ilegal atau tidak berizin," tegas dia.
Selain ilegal, Yazid mengatakan sejumlah bangunan terutama tempat pemandian wisata itu juga berada di bantaran sungai yang sangat berisiko dihantam bencana. Apalagi, pada 11 Mei 2024 terjadi banjir bandang yang menimbulkan korban jiwa di beberapa titik.
Pasca Banjir bandang dan lahar dingin Gunung Marapi, Yazid mengatakan pemerintah sudah menyampaikan pemberitahuan larangan pendirian bangunan atau aktivitas di kawasan TWA Megamendung.
"Satpol PP bersama Balai Konservasi Sumber Daya Alam juga sudah tiga kali menyampaikan peringatan tapi itu tidak diindahkan," ujarnya.
Atas dasar itu, Kemenhut bersama TNI/Polri, Satpol-PP dan pemerintah provinsi dan daerah melakukan tindakan tegas berupa penutupan seluruh aktivitas di kawasan TWA Megamendung.
Baca Juga: Kemenhut: Program Perhutanan Sosial Telah Dirasakan 192.582 Warga, Sebagian Besar Perempuan
Sementara itu, tokoh adat Nagari (desa) Singgalang, Kabupaten Tanah Datar sekaligus pengurus Kerapatan Adat Nagari (KAN) Nagari Singgalang Yunelson Datuak Tumangguang mengatakan eksekusi atau penutupan yang dilakukan Kemenhut tanpa adanya koordinasi terlebih dahulu dengan masyarakat setempat.
"Eksekusi hari ini tanpa adanya koordinasi pemerintah terutama gubernur," kata Datuak Tumangguang.
Ia mengatakan pasca banjir bandang yang melanda desa itu belum ada gubernur atau bupati berdiskusi dengan tokoh adat setempat. Padahal, setelah kejadian itu, pihaknya menyebut sudah mengundang gubernur untuk menyikapi kondisi yang terjadi.
"Jadi, untuk masalah eksekusi hari ini akan kita coba bicarakan dan tentunya kami tegak dengan hukum," ujarnya.
Salah satu alasan kuat masyarakat setempat menolak eksekusi di TWA Megamendung dikarenakan kawasan itu diklaim sebagai tanah ulayat masyarakat.
"Ini tanah ulayat yang dibuat pemerintah Belanda menjadi kawasan hutan lindung. Jadi, kawasan hutan lindung ini kawasan kami," kata dia menegaskan.
(Sumber: Antara)