Ntvnews.id, Jakarta - Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menegaskan bahwa keterlambatan pembayaran klaim kepada sejumlah fasilitas kesehatan (faskes) bukan disebabkan oleh defisit anggaran. Hal ini disampaikan langsung oleh Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ghufron Mukti, dalam sebuah forum bersama para pemimpin redaksi media di Jakarta.
Ghufron menepis tudingan bahwa BPJS Kesehatan menolak klaim rumah sakit karena kekurangan dana. Ia menegaskan, terdapat beberapa faktor teknis dan administratif yang menyebabkan proses pencairan dana tertunda.
"Salah satu alasan yang menyebabkan pembayaran tertunda yakni perilaku pengajuan klaim fasilitas kesehatan yang upcoding," katanya, dilansir Antara.
Upcoding adalah praktik mengubah atau memanipulasi kode diagnosis atau tindakan medis menjadi kode yang bernilai klaim lebih tinggi dari yang sebenarnya, demi memperoleh pembayaran lebih besar dari BPJS Kesehatan. Selain itu, kualitas pengajuan dokumen klaim juga dinilai belum sesuai standar.
"Penyebab lainnya yakni kualitas dokumen klaim yang rendah, serta tidak sesuai ketentuan BPJS Kesehatan," ujar dia.
Ghufron merinci bahwa sejumlah kesalahan teknis kerap ditemukan dalam proses verifikasi klaim. Di antaranya kode diagnosis atau prosedur medis yang tidak tepat, indikasi perawatan yang tidak sesuai, serta adanya dugaan kecurangan (fraud) dari pihak fasilitas kesehatan.
"Termasuk manfaat yang tidak dijamin, tidak sesuai prosedur atau standar pelayanan, serta tidak disertai bukti pendukung atau dokumen klaim," ucapnya.
Tanggapi Penonaktifan 7,3 Juta Peserta PBI
Dalam kesempatan yang sama, Ghufron juga menanggapi keputusan pemerintah yang menonaktifkan sekitar 7,3 juta peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada Mei 2025. Penonaktifan ini merupakan bagian dari transisi kebijakan berbasis Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN), sebagaimana tercantum dalam SK Menteri Sosial Nomor 80 Tahun 2025 dan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2025.
"Mengacu pada peraturan tersebut, mulai bulan Mei 2025 penetapan peserta PBI akan menggunakan basis data DTSEN. Namun, mereka yang dinonaktifkan itu bisa kembali aktif jika menghubungi atau lapor ke dinas sosial setempat," paparnya.
BPJS Kesehatan menjelaskan bahwa terdapat tiga kriteria utama agar peserta PBI JKN yang dinonaktifkan bisa kembali mendapatkan layanan:
"Pertama, yakni dinonaktifkan kepesertaannya pada bulan Mei 2025. Kedua, setelah diverifikasi (pemerintah daerah setempat/Kementerian Sosial) memang benar miskin atau hampir miskin lah, yang ketiga, apabila memang yang bersangkutan itu ada penyakit kronis atau istilahnya emergency (gawat darurat) yang memerlukan penanganan segera bisa langsung aktif," ujar dia.
Jika tidak memenuhi ketiga kriteria tersebut, lanjut Ghufron, peserta tidak dapat lagi masuk dalam skema PBI JKN. Sebagai alternatif, pembiayaan iuran dapat dialihkan ke pemerintah daerah atau ditanggung secara mandiri.
Meski begitu, BPJS Kesehatan memastikan bahwa pengurangan jumlah peserta aktif PBI ini tidak akan berdampak terhadap alokasi anggaran dari negara. Ghufron juga mengemukakan jumlah peserta yang non-aktif tersebut tidak akan memengaruhi alokasi PBI JKN dari negara yakni sekitar Rp96,8 juta.