Ntvnews.id, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan memisahkan penyelenggaraan pemilu nasional dan daerah. Paling cepat, pemilu daerah digelar setelah dua tahun pelantikan presiden atau anggota DPR RI terpilih.
Menurut Koordinator Komite Pemilih Indonesia, Jeirry Sumampow, MK seperti ingin membuka jalan baru agar proses pemilu berjalan lebih tertata dan berkualitas, melalui putusan tersebut.
"Pemilih diberi ruang untuk fokus pada isu nasional saat memilih presiden, DPR RI dan DPD RI, lalu bisa benar-benar memperhatikan persoalan lokal saat memilih kepala daerah dan anggota DPRD," ujarnya, Kamis, 26 Juni 2025.
"Hal ini tentu bisa mendorong rasionalitas pemilih dan memperkuat kualitas demokrasi," imbuh Jeirry.
Lebih lanjut, menurutnya pemisahan ini juga memberi peluang lebih besar bagi tokoh-tokoh lokal yang punya kapasitas dan rekam jejak baik. Mereka kini bisa bersaing secara lebih mandiri tanpa bergantung pada popularitas capres atau partai besar di tingkat nasional.
"Efek 'ekor jas', di mana suara untuk caleg atau calon kepala daerah ikut terdongkrak oleh kandidat presiden, bisa diminimalisir," kata dia.
Dari sisi teknis penyelenggaraan, lanjut Jeirry, pemisahan ini juga memberi harapan. Beban kerja KPU, Bawaslu, dan petugas di lapangan bisa terbagi. Tidak lagi harus menangani lima surat suara dan lima kotak suara dalam satu waktu, yang selama ini memicu kekacauan logistik dan kelelahan luar biasa.
"Dalam jangka panjang, ini bisa menyelamatkan kualitas pelaksanaan pemilu dan bahkan keselamatan petugas," ucapnya.
Namun, kata dia, kita juga tidak bisa menutup mata bahwa pemisahan ini menimbulkan tantangan baru. Pertama, dari segi anggaran. Dua kali pemilu besar dalam satu siklus lima tahun berarti biaya dua kali lipat.
"Negara harus menanggung ongkos logistik, distribusi, pengamanan, dan honor petugas dua kali. Ini berpotensi menjadi beban fiskal yang berat, apalagi jika tidak disertai efisiensi," kata dia.
Kedua, masyarakat akan dihadapkan pada intensitas politik yang makin tinggi. Frekuensi ke TPS bertambah. Jika tidak dikelola dengan baik, ini bisa menimbulkan kejenuhan atau apatisme politik. Partisipasi pemilih bisa menurun karena merasa bosan atau tidak melihat perubahan nyata dari satu pemilu ke pemilu berikutnya.
"Ketiga, potensi munculnya politisi 'lompat panggung' makin besar. Karena waktu pemilu berbeda, mereka yang gagal di pemilu nasional bisa langsung nyalon di pilkada atau sebaliknya. Politik jadi ajang coba-coba, bukan lagi soal pengabdian. Demokrasi bisa terjebak pada pola pikir jangka pendek dan kepentingan elektoral belaka," papar dia.
Putusan ini, kata Jeirry bisa baik dan tidak baik bagi pertumbuhan dan perkembangan demokrasi RI. Jika dikelola dengan benar, putusan ini bisa menjadi peluang besar untuk memperbaiki kualitas demokrasi elektoral kita. Masyarakat bisa lebih jernih menilai calon pemimpin.
"Proses pemilu lebih tertib dan fokus. Tokoh-tokoh lokal punya ruang lebih luas untuk tampil," ucapnya.
Namun sebaliknya, tanpa kesiapan yang matang, dari sisi regulasi, penyelenggaraan, edukasi publik, partisipasi rakyat, hingga anggaran, putusan ini justru bisa menimbulkan beban baru. Yang tadinya ingin menyederhanakan, bisa-bisa malah makin merepotkan.
Karena itu, kata dia, tantangan ke depan adalah bagaimana pemerintah, DPR, penyelenggara pemilu, partai politik, dan masyarakat sipil bisa segera beradaptasi. Regulasi harus segera direvisi dan momentumnya pas, sebab revisi UU Pemilu sedang bergulir di DPR.
"Dan yang paling penting, masyarakat harus dilibatkan secara aktif dan diberi pemahaman agar tidak cuek dan apatis dalam berpartisipasi," tutur Jeirry.
Putusan MK ini, menurutnya memang agak mengagetkan namun menimbulkan tantangan baru. Sebab putusan MK sifatnya final dan mengikat, maka harus dilaksanakan.
"Apakah Putusan MK ini akan membawa perbaikan atau justru jadi masalah baru, sangat bergantung pada bagaimana kita menyiapkan langkah selanjutnya. Demokrasi yang baik bukan hanya soal hari pencoblosan, tapi juga soal bagaimana semua proses dijalankan dengan jujur, adil, efisien, dan berorientasi pada rakyat," tandas Jeirry.