Ntvnews.id, Jakarta - Dua anggota DPR RI menangis saat menggelar Rapat Kerja dengan Menteri Kebudayaan Fadli Zon. Penyebabnya, Fadli tetap pada pendiriannya bahwa pemerkosaan massal terhadap perempuan etnis Tionghoa dalam Tragedi Mei 1998, tak terjadi.
Ialah Wakil Ketua Komisi X DPR RI dari Fraksi PDIP MY Esti Wijayati, dan Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PDIP Mercy Chriesty Barends, yang menangis saat mendengar Fadli tetap mempertanyakan penggunaan diksi "massal" dalam peristiwa pemerkosaan 1998.
Air mata Esti tak terbendung, kala ia menginterupsi penjelasan Fadli yang meragukan data dan informasi soal pemerkosaan massal 1998. Ia lalu membandingkannya dengan kasus kekerasan seksual massal di Nanjing dan Bosnia.
"(Mendengar) Pak Fadli Zon ini bicara kenapa semakin sakit ya soal pemerkosaan. Mungkin sebaiknya tidak perlu di forum ini, Pak, karena saya pas kejadian itu juga ada di Jakarta, sehingga saya tidak bisa pulang beberapa hari," ujar Esti, dengan nada suara bergetar.
Esti menilai, penjelasan Fadli yang teoritis dan tak menunjukkan kepekaan justru menambah luka bagi mereka yang menyaksikan dan mengalami langsung situasi mencekam pada masa tersebut.
"Ini semakin menunjukkan Pak Fadli Zon tidak punya kepekaan terhadap persoalan yang dihadapi korban pemerkosaan. Sehingga menurut saya, penjelasan Bapak yang sangat teori seperti ini, dengan mengatakan Bapak juga aktivis pada saat itu, itu justru akan semakin membuat luka dalam," tuturnya.
Baca Juga: Fadli Zon Diteriaki saat Rapat di DPR: Hentikan Pemutihan Sejarah!
Menteri Kebudayaan Fadli Zon. (YouTube TVR Parlemen)
Fadli lantas menyela pernyataan Esti dan menegaskan bahwa dirinya tidak menyangkal peristiwa tersebut. "Terjadi, Bu. Saya mengakui," kata Fadli.
Walau demikian, respons itu tak cukup meredam emosi Esti, yang kembali menegaskan bahwa penjelasan Fadli justru mengesankan keraguan penderitaan para korban.
"Itu yang kemudian Bapak seolah-olah mengatakan..." tutur Esti. Perempuan itu lalu kembali terdiam karena emosi.
Wakil Ketua Komisi X dari Fraksi PKB Lalu Hadrian Irfani, mencoba menengahi perdebatan dengan menjelaskan bahwa Fadli mengakui adanya peristiwa pemerkosaan, tapi mempertanyakan istilah "massal".
"Jadi, tadi Pak Fadli Zon sudah menjelaskan bahwa beliau sebenarnya mengakui perkosaan itu ada, tetapi ada diksi 'massal' itu yang beliau pertanyakan," kata Lalu.
Mercy pun selanjutnya ikut bersuara sambil menangis. Menurut dia, betapa menyakitkannya menyaksikan negara seolah kesulitan mengakui sejarah kelam, padahal data dan testimoni korban sudah dikumpulkan sejak awal Reformasi.
"Pak, saya ingin kita mengingat sejarah kasus Tribunal Court Jugun Ianfu. Begitu banyak perempuan Indonesia yang diperkosa dan menjadi rampasan perang pada saat Jepang. Pada saat dibawa ke Tribunal Court ada kasus, tapi tidak semua, apa yang terjadi? Pada saat itu pemerintah Jepang menerima semua," jelas Mercy.
"Ini pemerintah Jepang, duta besarnya itu sampai begini terhadap kasus Jugun Ianfu. Kita paksa sendiri. Kenapa begitu berat menerima ini? Ini kalau saya bicara, ini kita sakit, Pak. Saya termasuk bagian juga yang ikut mendata itu testimoni, testimoni sangat menyakitkan kita bawa itu testimoni dalam desingan peluru," imbuhnya.
Mercy lalu menyinggung kesaksian para korban kekerasan seksual dari Maluku, Papua, dan Aceh yang didokumentasikan setelah 1998. Menurut dia, pengakuan atas peristiwa-peristiwa itu tidak bisa dibatasi pada perdebatan definisi atau diksi semata.
"Bapak bilang TSM (terstruktur, sistematis, dan masif). Bapak bilang tidak terima yang massal. Pak, kebetulan sebagian besar itu satu etnis. Kita tidak ingin membuka sejarah kelam, tapi ini satu etnis," jelas Mercy.
"Bapak bisa baca itu testimoni yang kami bawa. Ini minta maaf sekali, sangat terganggu, apa susahnya menyampaikan? Satu kasus saja sudah banyak, lebih dari satu kasus tidak manusiawi. Minta maaf!" kata Mercy.
Fadli Zon Minta Maaf
Mendengar luapan emosi Mercy, Fadli lalu menyampaikan permintaan maaf jika penjelasannya dianggap tidak sensitif.
"Saya minta maaf kalau ini terkait dengan insensitivitas, dianggap insensitif. Tapi saya, sekali lagi, dalam posisi yang mengutuk dan mengecam itu juga," kata Fadli.
Fadli menegaskan, dirinya tidak bermaksud mereduksi atau menegasikan peristiwa kekerasan seksual pada 1998. Tapi, ia mengatakan pentingnya pendokumentasian yang akurat dan ketelitian dalam penggunaan istilah massal.
"Saya kira tidak ada maksud-maksud lain dan tidak sama sekali mengucilkan atau mereduksi, apalagi menegasikannya," tandas Fadli.