Ini Isi Pidato BJ Habibie yang Mengakui Adanya Pemerkosaan di Tragedi Mei 98

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 3 Jul 2025, 13:08
thumbnail-author
Tasya Paramitha
Penulis & Editor
Bagikan
Pidato BJ Habibie yang Mengakui Adanya Kekerasan Seksual Mei 1998. Pidato BJ Habibie yang Mengakui Adanya Kekerasan Seksual Mei 1998. (YouTube)

Ntvnews.id, Jakarta - Pernyataan Presiden ketiga RI, BJ Habibie, yang secara resmi mengakui adanya kekerasan dan pemerkosaan massal terhadap perempuan, terutama dari etnis Tionghoa, dalam kerusuhan Mei 1998, kembali mencuat ke publik. Hal ini dipicu oleh pernyataan kontroversial Menteri Kebudayaan Fadli Zon beberapa waktu lalu, yang menyebut tidak ada bukti kuat atas peristiwa pemerkosaan massal tersebut.

Pidato Habibie yang menyinggung kekerasan seksual pada Mei 1998 disampaikan dalam Sidang Umum MPR pada 16 Agustus 1998. Kala itu, ia baru menjabat sebagai presiden menggantikan Soeharto yang mundur dari kekuasaan setelah gelombang reformasi.

"Mereka juga masih dibayang-bayangi huru-hara massa yang dipicu oleh gugurnya keempat pahlawan reformasi pada tanggal 12 Mei 1998," kata Habibie, seperti terekam dalam video yang diunggah akun YouTube AP Archive pada 22 Juli 2015, dikutip Kamis, 3 Juli 2025.

"Huru-hara berupa penjarahan dan pembakaran pusat-pusat pertokoan, dan rumah penduduk tersebut bahkan disertai tindak kekerasan dan perundungan seksual, terhadap kaum perempuan, terutama dari etnis Tionghoa," lanjutnya.

Baca Juga: Menbud Fadli Zon: Sejarah Perlu Ditulis Berdasarkan Fakta, Bukan Emosi Semata

Habibie menilai kejadian tersebut sangat mencoreng nama baik bangsa Indonesia di mata dunia dan harus dikecam keras.

"Seluruh rangkaian tindakan tidak bertanggung jawab tersebut sangat memalukan dan telah mencoreng muka kita sendiri. Sebagai bangsa yang berakhlak dan bermoral tinggi, sebagai bangsa yang berbudaya dan beragama, kita mengutuk perbuatan biadab tersebut," tegas Habibie.

Ia juga menegaskan bahwa Indonesia telah keluar dari fase keraguan konseptual soal hak asasi manusia, yang sebelumnya dianggap sebagai produk budaya Barat. Habibie menyampaikan penyesalan mendalam atas pelanggaran HAM yang pernah terjadi.

"Dengan demikian, secara tegas kita telah meninggalkan tahap keraguan secara konsepsional, yang selama ini menganggap hak asasi manusia sebagai produk budaya yang berasal dari Barat. Berkaitan dengan kesungguhan kita dalam menghormati dan menegakkan hak asasi manusia tersebut, melalui forum yang mulia ini, atas nama pemerintah, saya menyampaikan penyesalan yang sedalam-dalamnya atas terjadinya pelanggaran hak asasi manusia di beberapa daerah pada masa lalu," ujarnya.

Baca Juga: Fadli Zon Tegaskan Pernyataannya Soal Perkosaan Massal 1998 Merupakan Pendapat Pribadi

Fadli Zon Sebut Tak Ada Bukti Pemerkosaan Massal pada Mei 1998

 

Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyebut pemerkosaan massal saat kerusuhan massal pada tahun 1998 tak terjadi. Ia mengatakan peristiwa huru hara pada 13-14 Mei 1998 memang menimbulkan sejumlah silang pendapat dan beragam perspektif, termasuk ada atau tidak adanya perkosaan massal.

Bahkan, kata Fadli, liputan investigatif sebuah majalah terkemuka tak dapat mengungkap fakta-fakta kuat soal 'massal' ini. Begitu juga laporan TGPF ketika itu hanya menyebut angka tanpa data pendukung yang solid baik nama, waktu, peristiwa, tempat kejadian atau pelaku.

Dari sinilah, Fadli menyatakan perlu kehati-hatian dan ketelitian karena menyangkut kebenaran dan nama baik bangsa.

Baca Juga: Fadli Zon Diteriaki saat Rapat di DPR: Hentikan Pemutihan Sejarah!

"Saya tentu mengutuk dan mengecam keras berbagai bentuk perundungan dan kekerasan seksual pada perempuan yang terjadi pada masa lalu dan bahkan masih terjadi hingga kini. Apa yang saya sampaikan tidak menegasikan berbagai kerugian atau pun menihilkan penderitaan korban yang terjadi dalam konteks huru hara 13-14 Mei 1998," ujar Fadli, Senin, 16 Juni 2025.

Sebaliknya, kata dia, segala bentuk kekerasan dan perundungan seksual terhadap perempuan adalah pelanggaran terhadap nilai kemanusiaan paling mendasar, dan harus menjadi perhatian serius setiap pemangku kepentingan.

Fadli menjelaskan pernyataanya dalam sebuah wawancara publik menyoroti secara spesifik perlunya ketelitian dan kerangka kehati-hatian akademik dalam penggunaan istilah 'perkosaan massal', yang dapat memiliki implikasi serius terhadap karakter kolektif bangsa dan membutuhkan verifikasi berbasis fakta yang kuat.

Menurut Fadli, pernyataan itu bukan dalam rangka menyangkal keberadaan kekerasan seksual, melainkan menekankan bahwa sejarah perlu bersandar pada fakta-fakta hukum dan bukti yang telah diuji secara akademik dan legal.

Baca Juga: Tangis Anggota DPR di Depan Menteri Fadli Zon yang Sangkal Tragedi Perkosaan Massal Mei 1998

"Penting untuk senantiasa berpegang pada bukti yang teruji secara hukum dan akademik, sebagaimana lazim dalam praktik historiografi. Apalagi menyangkut angka dan istilah yang masih problematik," jelasnya.

Fadli mengatakan istilah 'massal' juga telah menjadi pokok perdebatan di kalangan akademik dan masyarakat selama lebih dari dua dekade. Sehingga, kata dia, sensitivitas seputar terminologi tersebut harus dikelola dengan bijak dan empatik.

"Berbagai tindak kejahatan terjadi di tengah kerusuhan 13-14 Mei 1998, termasuk kekerasan seksual. Namun terkait 'perkosaan massal' perlu kehati-hatian karena data peristiwa itu tak pernah konklusif," jelasnya.

Menanggapi kekhawatiran terkait penghilangan narasi perempuan dalam buku Sejarah Indonesia, Fadli menyampaikan bahwa tuduhan tersebut tidak benar. Malah sebaliknya, salah satu semangat utama penulisan buku ini adalah memperkuat dan menegaskan pengakuan terhadap peran dan kontribusi perempuan dalam sejarah perjuangan bangsa.

 

x|close