Ntvnews.id, Bangkok - Thailand kembali diambang krisis politik setelah Mahkamah Konstitusi pada Selasa, 1 Juli 2025, secara resmi menangguhkan Perdana Menteri Paetongtarn Shinawatra dari jabatannya.
Dilansir dari CNA, Jumat, 4 Juli 2025, keputusan ini diambil setelah pengadilan menerima permohonan dari 36 anggota senat yang menuding Paetongtarn melanggar kode etik dalam percakapannya melalui telepon dengan mantan Perdana Menteri Kamboja, Hun Sen, terkait isu perbatasan.
Meski Panglima Angkatan Bersenjata Thailand telah membantah adanya rencana kudeta awal pekan ini, sejumlah pengamat politik berpendapat bahwa langkah militer masih merupakan kemungkinan yang tidak sepenuhnya bisa diabaikan, mengingat sejarah panjang intervensi militer di negara tersebut.
Sejak berakhirnya sistem monarki absolut pada 1932, Thailand telah mengalami 13 kudeta militer yang sukses, termasuk dua di antaranya tahun 2006 dan 2014 yang menggulingkan Thaksin dan Yingluck Shinawatra, ayah dan bibi Paetongtarn.
Baca Juga: Jabatan PM Thailand Paetongtarn Shinawatra Ditangguhkan Gegara Dugaan Pelanggaran Etik
“Banyak orang Thailand yang enggan menghadapi kudeta lagi. Tapi tentu, kita tidak bisa menutup kemungkinan itu,” ujar Kevin Hewison, Guru Besar Emeritus.
Dalam rekaman pembicaraan telepon yang beredar luas, Paetongtarn menyatakan bahwa sebagian kalangan militer di Thailand merupakan "lawan politik", sebuah pernyataan yang memicu kemarahan dan menyebabkan salah satu partai utama menarik dukungannya dari koalisi pemerintahan.
Thitinan Pongsudhirak, analis politik dari Universitas Chulalongkorn, menyebut bahwa opsi kudeta masih terbuka, terutama jika ketegangan politik meningkat dan pemerintahan tidak mampu menjalankan fungsinya secara efektif.
“Entah itu intervensi dari lembaga yudisial atau militer, Thailand punya pola yang sistematis ketika menghadapi kebuntuan politik,” kata Pongsudhirak.
Spekulasi semakin menguat setelah pemerintah Thailand melakukan reshuffle kabinet di hari yang sama dengan penangguhan Paetongtarn, namun sejumlah posisi penting seperti Menteri Pertahanan dibiarkan kosong.
“Kekosongan ini membuka peluang bagi militer untuk bergerak, terlebih jika mereka menilai ada kekosongan kekuasaan atau ketidakstabilan politik,” tambah Hewison.
Baca Juga: Raja dan Ratu Thailand Jadi Pilot dan Kopilot Saat Kunjungan Resmi ke Bhutan
Unjuk rasa besar juga terjadi di Bangkok akhir pekan lalu, dipimpin oleh tokoh senior seperti Sondhi Limthongkul yang menyatakan secara terbuka bahwa dirinya tidak akan menolak langkah militer, meskipun ia tidak mendukung tentara kembali memegang kekuasaan secara langsung.
Situasi politik yang memanas ini terjadi saat ekonomi Thailand tengah berada dalam posisi genting. Pada Kamis, 3 Juli 2025, pemerintah dijadwalkan memulai negosiasi tarif dengan Amerika Serikat, sebagai respons atas pemberlakuan tarif impor sebesar 36 persen oleh Washington sejak April.
Jay Harriman, penasihat bidang politik dan bisnis di Bangkok, menyatakan bahwa peluang terjadinya kudeta militer masih kecil, namun bukan tidak mungkin jika kebuntuan politik tidak terselesaikan.
“Jika parlemen dan pengadilan tidak bisa menyelesaikan kebuntuan ini, militer bisa saja kembali mengambil alih,” ucap Harriman.
Ia juga menyoroti lemahnya performa ekonomi Thailand yang tertinggal dibandingkan dengan negara-negara tetangganya. Pertumbuhan PDB nasional telah dipangkas satu poin pada Juni, dipicu oleh dampak perang dagang global dan lesunya konsumsi dalam negeri. Di sisi lain, Bank Sentral Thailand telah dua kali menurunkan suku bunga sejak April demi mendorong pemulihan.
“Ekonomi kita dalam posisi yang rapuh. Tantangan yang dihadapi lebih dalam dari sekadar pemotongan suku bunga atau penghapusan tarif oleh AS,” ujar Harriman.