Ntvnews.id, Rio de Janeiro - Presiden Brasil, Luiz Inácio Lula da Silva, melontarkan kritik terhadap meningkatnya anggaran militer dunia, yang menurutnya didorong oleh keputusan terbaru NATO yang berpotensi memicu perlombaan senjata baru.
Dalam pidatonya di sesi pleno Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS ke-17 yang digelar di Rio de Janeiro, Minggu, 6 Juli 2025. Presiden Lula menyatakan bahwa lonjakan pengeluaran pertahanan mencerminkan adanya ketidakseimbangan dalam penetapan prioritas kebijakan global.
"Lebih mudah bagi negara-negara untuk mengalokasikan 5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) mereka untuk pertahanan militer daripada memenuhi janji mereka mengalokasikan 0,7 persen untuk bantuan pembangunan," ujarnya, dikutip dari Anadolu, Senin, 7 Mei 2025.
Ia juga mengungkapkan keprihatinan terhadap kecenderungan negara-negara maju yang lebih siap menggelontorkan dana besar untuk keperluan militer, sementara komitmen mereka terhadap pembangunan berkelanjutan justru lemah.
Baca Juga: Di Hadapan Prabowo, Presiden Brasil Sebut BRICS Pewaris Semangat Non-Blok Konferensi Bandung
“Fakta ini menunjukkan bahwa dana untuk melaksanakan Agenda 2030 sebenarnya tersedia, tetapi terhambat oleh kurangnya kemauan politik. Selalu lebih mudah membiayai perang daripada memperjuangkan perdamaian,” tegasnya.
Presiden Lula juga memperingatkan soal meningkatnya ancaman bencana nuklir seiring memanasnya tensi geopolitik dunia.
Ia menekankan kekhawatiran terhadap potensi penyalahgunaan lembaga internasional, seperti Badan Energi Atom Internasional (IAEA), yang menurutnya bisa menggerus legitimasi institusi yang sangat vital bagi stabilitas dunia.
“Kita pernah menyaksikan bagaimana Organisasi Pelarangan Senjata Kimia dimanfaatkan secara politis. Kini, hal serupa dikhawatirkan terjadi pada IAEA. Ancaman bencana nuklir kembali menghantui kehidupan sehari-hari,” katanya.
Baca Juga: AHY Soroti 3 Strategi Kunci Hadapi Krisis Iklim Global di Forum Urbanisasi BRICS 2025
Dalam bagian lain dari pidatonya, Presiden Brasil itu menegaskan bahwa negaranya konsisten menolak segala bentuk kekerasan bersenjata dan konflik—baik di Jalur Gaza, Ukraina, maupun Haiti.
Ia juga menolak segala ideologi kebencian yang mengatasnamakan agama atau identitas kebangsaan. Sebagai langkah nyata untuk mendukung perdamaian global, Presiden Lula mengangkat peran “Kelompok Sahabat Perdamaian”, sebuah inisiatif diplomatik yang digagas bersama oleh Brasil dan China.
Inisiatif ini bertujuan untuk membuka ruang dialog dan mencari solusi damai terhadap berbagai konflik, dengan melibatkan negara-negara dari belahan bumi selatan dalam upaya kolektif menyelesaikan krisis global.
“Kelompok ini berupaya mencari jalan keluar dari konflik melalui pendekatan yang adil, damai, dan menjunjung tinggi prinsip kedaulatan,” tutup Presiden Lula.