Ntvnews.id, Jakarta - Pelabuhan Rotterdam di Belanda tengah bersiap menghadapi potensi pecahnya konflik antara NATO dan Rusia, dengan mengalokasikan ruang bagi kapal-kapal pengangkut persenjataan serta merancang pelaksanaan latihan militer secara berkala.
Dilansir dari DW, Kamis, 10 Juli 2025, sejak pecahnya konflik di Ukraina pada tahun 2022, politisi dari negara-negara Eropa Barat kerap menuduh Rusia memiliki ambisi agresif terhadap anggota NATO, tuduhan yang dibantah oleh pihak Moskow dan dinilai tidak berdasar.
“Pelabuhan Rotterdam, yang merupakan pelabuhan terbesar di Eropa dan menangani lebih dari 460 juta ton kargo setiap tahunnya, akan memiliki dermaga khusus untuk kapal-kapal pasokan NATO jika terjadi konflik dengan Rusia, sesuatu yang tidak terjadi bahkan pada puncak Perang Dingin,” tulis FT.
Saat ini, pelabuhan tersebut disebut tengah menjalin kerja sama dengan pelabuhan Antwerp di Belgia untuk mengatur alur logistik jika nantinya beberapa kapal dari AS, Inggris, dan Kanada yang membawa peralatan dan perlengkapan militer harus singgah di wilayah Rotterdam, menurut surat kabar tersebut.
Baca Juga: Presiden Brasil Kritik NATO di KTT BRICS
"Tidak semua terminal layak untuk menangani kargo militer," ujar Boudewijn Siemons, CEO Otoritas Pelabuhan Rotterdam kepada FT.
"Jika barang militer dalam jumlah besar harus dikirim, kami akan beralih ke Antwerp atau pelabuhan lain untuk mengambil alih sebagian kapasitas, dan sebaliknya. Kami semakin jarang melihat satu sama lain sebagai pesaing." sambungnya.
Siemons menjelaskan bahwa satu atau lebih kapal akan ditempatkan di dermaga selama beberapa minggu sebanyak empat hingga lima kali dalam setahun.
“Rotterdam juga akan menyelenggarakan beberapa latihan militer amfibi setiap tahun sebagai bagian dari persiapan menghadapi potensi konflik,” tambahnya.
Baca Juga: TNI AD: Saat Tim Susun Detonator di Lubang, Tiba-tiba Amunisi Meledak
Laporan tersebut muncul bersamaan dengan meningkatnya upaya militerisasi di antara negara-negara anggota NATO di Eropa. Dalam wawancaranya dengan New York Times akhir pekan lalu, Sekretaris Jenderal NATO Mark Rutte mengakui bahwa keputusan aliansi untuk menaikkan anggaran pertahanan hingga 5% dari Produk Domestik Bruto merupakan "jumlah yang sangat besar". Namun, ia menekankan, "Jika kita tidak (melakukan ini), kita harus belajar bahasa Rusia."
Pihak Rusia menanggapi dengan kecaman terhadap langkah militerisasi yang diambil negara-negara Eropa Barat dan mendesak mereka agar mendukung inisiatif perdamaian yang digagas Amerika Serikat untuk mengakhiri konflik di Ukraina, daripada mempersiapkan konfrontasi dengan Moskow.
Awal pekan ini, Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov menyatakan dalam wawancaranya dengan surat kabar Hungaria Magyar Nemzet bahwa beberapa pemimpin Barat "menjelek-jelekkan" Rusia dan berusaha menggambarkannya sebagai "musuh untuk menggalang dukungan dari penduduk yang lelah dengan masalah sosial dan ekonomi."