Ntvnews.id, Jakarta - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai terdapat sejumlah persoalan dalam revisi KUHAP oleh DPR RI. Utamanya terkait mekanisme pengujian terhadap kewenangan aparat penegak hukum yaitu menyadap, menangkap dan menahan seseorang.
"(KontraS ingin) Wewenang penyadapan, penangkapan, penahanan tidak dilakukan dengan sewenang-wenang. Nah ini yang mau kita dorong ada di KUHAP," ujar peneliti KontraS Hans G Yosua, di Jakarta, Kamis, 17 Juli 2025.
Mereka mengaku tak masalah adanya kewenangan menyadap, menangkap dan menahan dari penegak hukum. Namun, hal itu juga harus dibarengi cara untuk menguji bahwa kewenangan itu sah atau tidak.
"Jadi oke diberikan wewenang penegak hukumnya, tapi hak warga negara juga dijamin, termasuk hak-hak kelompok minoritas, kelompok disabilitas misalnya," tuturnya.
Hans menjelaskan, ketiga kewenangan tadi merupakan upaya paksa. Sehingga, harus bisa dipastikan apakah upaya paksa itu sudah sesuai, misalnya dengan prinsip yang diatur dalam hak asasi manusia (HAM).
"Jaminan itu diatur secara normatif, tanpa ada mekanisme menguji, misalnya upaya paksa yang dilakukan itu sudah sesuai prinsip HAM atau tidak. Nah itu yang tidak ada di KUHAP hari ini," tuturnya.
Baik di KUHAP yang sekarang berlaku maupun yang akan direvisi, kata Hans tak ada pasal yang mengatur tentang pengujian penyadapan, penangkapan dan penahanan. KontraS pun mendorong adanya mekanisme hakim pemeriksa pendahuluan atau hakim komisaris, yang menguji sah tidaknya penggunaan tiga kewenangan tadi. Jika tidak diatur, artinya tak ada perubahan signifikan dari KUHAP lama maupun baru nantinya.
"Sepertinya tidak ada perbedaan antara KUHAP yang lama dengan KUHAP yang baru," kata dia.
Soroti Penulisan Ulang Sejarah RI
Selain itu, KontraS juga menyoroti penulisan ulang sejarah Indonesia oleh Kementerian Kebudayaan. Pihaknya berharap hal itu tak dilakukan dengan menyudutkan korban dalam peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia. Terutama yang terjadi semasa Orde Baru.
"Seharusnya sejarah tentang pelanggaran HAM dituliskan apa adanya, tidak boleh mendiskreditkan korban atau dituliskan dengan tone yang positif yang pada akhirnya mengaburkan fakta sejarah berkaitan dengan peristiwa yang terjadi," ujar Hans.
"Sejarah Indonesia saat Orde Baru sampai Reformasi, banyak peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi, sangat disayangkan jika peristiwa itu dituliskan dengan tone yang mungkin mendiskreditkan korban atau terkesan menyalahkan korban," imbuhnya.
Pihaknya juga menyoroti pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyangkal adanya pemerkosaan massal terhadap perempuan etnis Tionghoa dalam Tragedi Mei 1998. Menurut dia, Komnas HAM yang sudah menyelidiki kasus ini, telah menyimpulkan bahwa hal itu benar-benar terjadi. Karenanya penyangkalan itu dinilai tak tepat.
"Sangat tidak tepat ya mau disangkal peristiwa yang terjadi di '98," tandas Hans.