Ntvnews.id, Jakarta - Aktivis sekaligus Direktur Democracy and Election Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati menjadi korban doxing melalui akun Instagram @neni1783 dan TikTok @neninurhayati36 pada 15–16 Juli 2025.
Dalam pernyataannya, Neni menyebut bahwa serangan ini terkait unggahan videonya di media sosial pada 5 Mei 2025 yang membahas bahaya buzzer terhadap demokrasi. Video tersebut bertujuan mendorong kesadaran publik dan para pemimpin daerah tentang pentingnya tidak menyalahgunakan media sosial untuk pencitraan.
Video edukatif yang diunggah Neni menggunakan referensi dari laporan investigatif Kompas bertajuk "Buzzer Mengepung Warga" dan "Buzzer Politik Pemborosan Anggaran". Dalam video tersebut, ia tidak menyebut nama pejabat tertentu, termasuk Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, namun membahas secara umum praktik-praktik yang dianggap merusak demokrasi.
"Yang saya kritisi adalah kebijakannya. Selain Kang Dedi, tentu ada banyak pejabat publik lainnya yang saya juga kritik melalui akun tiktok tersebut,” kata Neni.
Baca Juga: Aktivis Neni Nur Hayati Kena Doxing dan Penyebaran Foto Tanpa Izin oleh Diskominfo Jabar
Kemudian pada 16 Juli 2025, Neni mengaku terkejut setelah mendapat kabar dari wartawan bahwa video TikTok miliknya telah diposting ulang oleh akun resmi milik Pemerintah Provinsi Jawa Barat, yakni @jabarprovgoid, @humas_jabar, dan @jabarsaberhoaks. Menurut Neni, video tersebut digunakan tanpa izin dan ditampilkan dengan sudut pandang sepihak.
Menanggapi ini, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengecam serangan digital terhadap Neni. Ia menyebut tindakan ini sebagai ancaman serius terhadap kebebasan berekspresi di Indonesia.
Sekjen Amnesty International, Agnes Callamard dan Usman Hamid (Ntvnews.id/ Adiansyah)
“Ini adalah serangan terhadap kebebasan sipil dan semakin menegaskan kemunduran serius dalam iklim kebebasan berekspresi di Indonesia. Kritik yang sah dibalas dengan serangan adalah suatu bentuk pelanggaran terhadap kebebasan menyatakan pendapat dan berekspresi di Indonesia. Ini harus segera dihentikan," katanya.
Ia menambahkan, penegak hukum harus segera dan secara aktif menyelidiki pelaku serangan. Jika tidak, hal ini hanya akan memperkuat persepsi bahwa pelaku kebal hukum. Amnesty menekankan bahwa negara wajib hadir melindungi warga dari pembungkaman, bukan justru diam atau ikut terlibat.
Serangan terhadap aktivis seperti Neni bukan hanya menyasar individu, tetapi juga menghantam fondasi demokrasi itu sendiri. Pasal 19 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) menjamin kebebasan berekspresi, termasuk untuk gagasan yang mungkin dianggap mengganggu, menyakitkan, atau mengejutkan.
"Perlindungan hak atas kebebasan berekspresi yang diatur di Pasal 19 ICCPR berlaku untuk segala jenis informasi dan gagasan termasuk informasi dan gagasan yang dianggap mengejutkan, menyerang, atau mengganggu, terlepas dari apakah konten informasi atau gagasan tersebut benar atau salah," pungkas Hamid.