Ntvnews.id, Berlin - Mert Sayim kerap terlihat di bandara-bandara di negara bagian Nordrhein-Westfalen (NRW), Jerman, khususnya di ibu kota Düsseldorf. Dari wilayah itu saja, pada 2024 lebih dari 2.800 warga asing telah dideportasi lewat jalur udara. Mereka umumnya adalah pengungsi dengan permohonan suaka yang ditolak atau yang tidak memiliki prospek untuk menetap.
Dilansir dari DW, Senin, 8 September 2025
Sejak 2022, jumlah deportasi meningkat dari sekitar 13.000 menjadi lebih dari 20.000 per tahun. Pada paruh pertama 2025 saja, Kementerian Dalam Negeri Jerman melaporkan sudah ada 12.000 orang yang dipulangkan.
Sayim meyakini pekerjaannya akan semakin padat karena masih banyak pengungsi yang harus meninggalkan Jerman setelah melalui proses hukum. Semua peristiwa itu rutin ia dokumentasikan dan publikasikan.
Dalam laporan tahunan lembaga pengawas deportasi, Sayim menyoroti kasus sensitif: "Kami mengamati antara lain deportasi seorang anak setelah menjalani operasi jantung baru-baru ini. Itu pun tanpa pemeriksaan lanjutan yang secara medis wajib dilakukan—padahal jadwal pemeriksaan sudah ditentukan."
Baca Juga: Jerman Buka Kualifikasi Piala Dunia 2026 dengan Takluk dari Slovakia
Laporan itu juga menegaskan rekomendasi umum: "Dalam deportasi orang sakit, harus diperiksa secara individual apakah orang tersebut benar-benar memiliki akses terhadap layanan medis yang diperlukan di negara tujuan. Perlu dipertimbangkan apakah pengobatan tersebut dapat diakses, terjangkau, dan tersedia." Jika terdapat risiko kesehatan serius, deportasi seharusnya ditangguhkan.
Meski begitu, penangguhan jarang dilakukan. Biasanya, hal itu terjadi bila ada alasan teknis, seperti pilot menolak terbang karena calon deportan bertindak agresif. Komisaris Utama Kepolisian Federal di Sankt Augustin, Andrea Hoffmeister, menegaskan: "Deportasi bukan harga mati." Ia menambahkan, semua petugas sudah mendapatkan pelatihan, bahkan ada ruang khusus bagi keluarga dan anak di bandara.
Sayim menilai pemantauan saat ini masih terlalu terbatas. "Pemantauan deportasi harus diperluas dan diperkuat secara struktural," ujarnya. Menurutnya, pengawasan harus mencakup keseluruhan proses, mulai dari penjemputan di tempat tinggal hingga perjalanan di pesawat. Hal ini, katanya, sudah diatur dalam pedoman Uni Eropa (UE) sejak 2008, namun belum diterapkan Jerman.
Baca Juga: Buntut Ingin Caplok Gaza, Jerman Lakukan Hal yang Buat Israel Ketar-ketir
Alih-alih memperluas pengawasan, Jerman justru mendorong kebijakan deportasi yang lebih keras. Menteri Dalam Negeri Alexander Dobrindt (CSU) pada Juli lalu mengundang perwakilan Austria, Denmark, Prancis, Ceko, dan Polandia untuk menyelaraskan langkah. "Pemulangan yang efektif adalah syarat mutlak untuk kepercayaan terhadap kebijakan migrasi Eropa yang seimbang," demikian pernyataan bersama mereka.
Pastor Rafael Nikodemus dari Diakonie Rheinland Westfalen Lippe mengingatkan pentingnya keterbukaan: "Transparansi di bidang yang tertutup ini bermanfaat bagi semua institusi yang terlibat dalam proses deportasi. Yang penting adalah pandangan bersama antara lembaga negara dan non-negara tentang apa yang layak secara kemanusiaan."
Ketegangan politik soal migrasi juga berimbas pada meningkatnya jumlah pengungsi yang mencari perlindungan di gereja. Pada 2024, tercatat 329 kasus baru permohonan suaka gereja di NRW. "Jumlahnya lebih banyak dibanding tahun-tahun sebelumnya," kata Nikodemus.