Ntvnews.id, Jakarta - Pemerintah Amerika Serikat dan Korea Selatan resmi menghentikan operasi media yang menyiarkan berita ke Korea Utara, langkah yang membuat puluhan ribu warga di negara tertutup itu semakin kehilangan akses terhadap informasi dunia luar.
“Ini sangat buruk bagi rakyat Korea Utara dan jadi kemunduran yang sangat serius untuk hak asasi manusia di sana,” kata Kim Eu-jin, yang melarikan diri dari Korea Utara bersama ibu dan saudarinya pada tahun 1990-an, sebagaina dikutip dari AFP, Kamis 4 November 2025.
“Pemerintah menolak telak kebebasan rakyat Korea Utara untuk mengakses informasi, dan sekarang yang akan mereka dengar hanyalah propaganda Pyongyang,” ujarnya kepada DW.
Sebelumnya, warga Korea Utara masih bisa mendengarkan Radio Free Asia (RFA) dan Voice of America (VOA) dari AS, serta Voice of Freedom dari Korea Selatan secara diam-diam. Aktivis menilai, siaran-siaran tersebut berperan penting membantu masyarakat Korea Utara bertahan di tengah represi rezim.
Kim mengaku ia tidak pernah mendengarkan radio asing ketika masih tinggal di Korea Utara karena risikonya sangat besar. Rezim Pyongyang dikenal keras terhadap mereka yang mengakses media luar; pelanggar bisa diadili secara terbuka, dijatuhi hukuman kerja paksa, bahkan hukuman mati dalam kasus ekstrem.
Baca Juga: Menlu Sugiono Bakal Kunjungan ke Korut, Jadi yang Pertama Sejak 2013
Kim menambahkan, pemerintah Korea Utara selama beberapa tahun terakhir semakin gencar memperingatkan dan mengancam warganya agar tidak mendengarkan media asing, karena rezim sangat takut terhadap pengaruh siaran tersebut.
Mengapa Siaran Dihentikan?
Langkah penghentian siaran dimulai setelah Donald Trump kembali menjabat Presiden AS awal tahun ini. Ia mengeluarkan perintah eksekutif yang membubarkan lembaga induk VOA, yakni US Agency for Global Media, menyebabkan ratusan staf kehilangan pekerjaan.
Sementara itu, pada akhir Agustus, pemerintah Korea Selatan juga mengumumkan penghentian Voice of Freedom, yang telah mengudara selama 15 tahun. Selain itu, pengeras suara besar di perbatasan yang sebelumnya menyiarkan berita dan musik pop Korea Selatan ke Korea Utara ikut dibongkar.
Seoul menjelaskan kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi ketegangan dengan Pyongyang dan membuka peluang negosiasi antarnegara. Namun, sejauh ini belum terlihat tanda-tanda positif dari upaya tersebut.
“Redaksi Gelap, Siaran Dibungkam”
Tangkapan layar - Presiden Amerika Serikat Donald Trump dalam pidatonya pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-47 ASEAN yang digelar di Kuala Lumpur Convention Center, Malaysia, Minggu (26/10/2025). (ANTARA)
Pada 29 Oktober, Rosa Hwang, pemimpin redaksi Radio Free Asia, mengonfirmasi bahwa siarannya dihentikan karena “ketidakpastian pendanaan,” sesuatu yang belum pernah terjadi selama 29 tahun sejarah RFA.
“Redaksi gelap. Mikrofon dimatikan. Siaran dibungkam. Penerbitan dihentikan. Di media sosial. Di situs web kami,” ujar Hwang.
Ia menegaskan bahwa tanpa RFA, “26 juta warga Korea Utara terisolasi dari rezim represif yang menentang kebebasan berbicara dan pers yang bebas akan kehilangan akses penting akan informasi independen.”
Menurut hasil analisis situs 38 North, jumlah siaran radio anti-rezim menurun hingga 85%, dan program televisi hampir hilang sepenuhnya sejak penghentian siaran oleh AS dan Korea Selatan.
Korea Utara sendiri semakin canggih dalam mengacaukan sinyal radio asing, sementara pandemi COVID-19 memperburuk situasi dengan mempersempit jalur penyelundupan USB dan kartu memori yang berisi konten luar negeri.
Para analis menyoroti pula bahwa Undang-Undang Anti-Pemikiran dan Budaya Reaksioner 2020 menjadi bukti betapa seriusnya rezim Kim Jong Un menghadapi ancaman dari media asing.
‘Menjadi Perpanjangan Tangan Rezim’
“Saya yakin pemerintah Pyongyang sangat senang dengan perkembangan ini,” kata Lim Eun-jung, profesor studi internasional di Kongju National University.
“Menghentikan siaran ini berarti orang-orang di sana kini hanya memiliki media negara Korea Utara untuk didengar, dan mereka akan semakin sedikit mengetahui apa yang terjadi di dunia luar,” tambahnya kepada DW.
Lim memahami langkah pemerintah Seoul yang ingin menurunkan ketegangan dengan Korea Utara, namun menilai kebijakan itu justru memperparah isolasi rakyat Korea Utara.
Sementara itu, Kim Eu-jin menegaskan bahwa meskipun siaran asing tidak berperan langsung dalam keputusannya melarikan diri tiga dekade lalu, siaran tersebut kemudian menjadi alat penting perlawanan terhadap rezim.
“Siaran itu mengajarkan orang di Korea Utara tentang hak asasi manusia,” katanya.
“Itu memberi tahu mereka apa itu kebebasan. Bagi sebagian orang, hal itu membuat mereka berjuang untuk kebebasan itu dengan meninggalkan Korea Utara. Saya tidak mengerti mengapa kita justru ‘menjadi perpanjangan tangan’ rezim dengan menghentikan siaran ini.” pungkasnya.
Bendera Korea Utara (korut) (Istimewa)