Menhaj Tegaskan Kuota Haji 2026 Lebih Adil dan Proporsional

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 17 Nov 2025, 17:04
thumbnail-author
Deddy Setiawan
Penulis
thumbnail-author
Beno Junianto
Editor
Bagikan
Menteri Haji dan Umrah RI Mochamad Irfan Yusuf Menteri Haji dan Umrah RI Mochamad Irfan Yusuf (Istimewa)

Ntvnews.id, Jakarta - Menteri Haji dan Umrah RI Mochamad Irfan Yusuf menegaskan pembagian kuota haji reguler antar provinsi pada penyelenggaraan haji 1447H/2026M mengusung prinsip berkeadilan dan proporsionalitas.

Hal ini disampaikan Menhaj Irfan Yusuf menyikapi adanya penambahan dan pengurangan kuota haji reguler di sejumlah provinsi pada penyelenggaraan haji 1447H/2026M.

“Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2025 mengatur secara tegas bahwa pembagian kuota haji reguler antarprovinsi harus mencerminkan keadilan dan proporsionalitas,” kata Menhaj Irfan Yusuf di Jakarta, Senin, 17 November 2025.

Baca Juga: Infografik: Rencana Perjalanan Ibadah Haji 2026

Menurut Gus Irfan panggilan akrabnya dalam Pasal 13 ayat (2) disebutkan, pembagian kuota dapat dilakukan dengan tiga pendekatan: pertama, berdasarkan proporsi jumlah daftar tunggu jemaah haji antarprovinsi; kedua, berdasarkan proporsi jumlah penduduk muslim antarprovinsi; dan ketiga, melalui kombinasi dari keduanya yang ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri Haji dan Umrah.

“Dengan ketentuan baru ini, UU 14/2025 menghadirkan reformasi mendasar dalam sistem pembagian kuota haji, memastikan bahwa setiap calon jemaah mendapatkan kesempatan berangkat secara lebih adil dan terukur, sesuai dengan waktu pendaftaran dan kondisi demografis masing-masing provinsi,” tegas Gus Irfan.

Menurut Gus Irfan pemerintah melalui Kementerian Haji dan Umrah menetapkan opsi waiting list sebagai dasar pembagian kuota haji karena pendekatan ini dianggap paling memenuhi rasa keadilan, kepastian, dan kemaslahatan bagi calon jemaah haji Indonesia.

Baca Juga: Sestama Baznas Bungkam Usai Diperiksa KPK Soal Kasus Kuota Haji

Keputusan ini lanjutnya lahir dari telaah mendalam, pembahasan bersama DPR, serta masukan publik yang menyoroti panjangnya masa tunggu di banyak daerah.

Selama ini lanjut Gus Irfan, pembagian kuota berbasis proporsi penduduk muslim menimbulkan kesenjangan yang lebar antarprovinsi.

Seluruh Jemaah Haji Telah Tiba di Tanah Suci dan Siap Menuju Fase Armuzna <b>(Istimewa)</b> Seluruh Jemaah Haji Telah Tiba di Tanah Suci dan Siap Menuju Fase Armuzna (Istimewa)

Dengan dasar waiting list, pembagian kuota mencerminkan urutan pendaftaran jemaah secara nyata, sehingga setiap calon jemaah memiliki hak berangkat yang lebih adil dan terukur.

“Ini juga menjawab keresahan sosial dan tuntutan publik. Banyak jemaah yang sudah menunggu puluhan tahun tanpa kepastian. Opsi waiting list memberikan jawaban konkret terhadap aspirasi masyarakat, sekaligus memperkuat legitimasi dan kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan haji yang transparan dan akuntabel,” ujarnya.

Ditambahkan Gus Irfan kesesuaian dengan amanat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2025. UU tersebut memberi ruang untuk pembagian kuota berdasarkan jumlah pendaftar, jumlah penduduk muslim, atau kombinasi keduanya.

Pemerintah memilih waiting list karena paling relevan dengan kondisi faktual dan semangat keadilan yang diatur dalam undang-undang, serta terbukti mampu menekan disparitas masa tunggu nasional menjadi lebih wajar dan merata.

“Kebijakan berbasis waiting list bukan hanya pilihan teknokratis, tetapi juga langkah moral dan sosial untuk memastikan penyelenggaraan ibadah haji berjalan lebih adil, transparan, dan berpihak pada umat,” ujar Gus Irfan.

Pemerintah melalui Kementerian Haji dan Umrah menggunakan basis data waiting list nasional yang bersumber dari Sistem Informasi dan Komputerisasi Haji Terpadu (SISKOHAT) sebagai dasar utama dalam menghitung kuota haji 2026 M/1447 H.

Data tersebut merupakan data resmi daftar tunggu jemaah haji reguler seluruh Indonesia, dengan cut-off per tanggal 16 September 2025, sebagai basis Kertas Kerja Perhitungan Kuota 2026.

Dalam kertas kerja tersebut, setiap provinsi memiliki data jumlah pendaftar aktif (waiting list) yang telah diverifikasi dan terintegrasi di SISKOHAT. Data ini kemudian dijumlahkan secara nasional menjadi 5.398.420 pendaftar, dan digunakan untuk menghitung proporsi kuota provinsi dengan rumus:

Melalui formula ini, pembagian kuota tiap provinsi mencerminkan proporsi nyata jumlah calon jemaah yang telah mendaftar dan menunggu keberangkatan, bukan lagi berdasarkan jumlah penduduk muslim semata.

“Kebijakan berbasis waiting list memastikan keadilan substantif dan kepastian berangkat bagi para calon jemaah yang telah lama menunggu, serta memperkuat akuntabilitas pemerintah dalam pengelolaan kuota haji secara nasional,” sambung Gus Irfan.

Dijelaskan Gus Irfan disparitas yang tampak tajam antara kuota haji tahun 2026 dan tahun 2025
sebenarnya bukan karena perubahan jumlah kuota nasional, tetapi karena perubahan mendasar pada rumus pembagiannya.

Mulai tahun 1447 H/2026 M, pemerintah melakukan reformasi kebijakan kuota haji dengan mengacu pada amanat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2025, yaitu menggunakan jumlah pendaftar (waiting list) sebagai dasar utama pembagian. Perubahan ini tentu menghasilkan pergeseran besar: provinsi dengan daftar tunggu panjang mendapat tambahan kuota signifikan, sementara provinsi dengan antrean pendek mengalami penyesuaian menurun.

“Kebijakan baru ini harus dipahami bukan sebagai bentuk ketidakstabilan, melainkan transformasi menuju keadilan dan kepastian,” ujarnya.

“Perubahan ini bukan bentuk ketidakadilan, melainkan koreksi terhadap ketimpangan lama. Pemerintah tidak mengurangi hak siapa pun, justru memastikan setiap jemaah dihormati haknya sesuai urutan pendaftaran. Dalam jangka panjang, sistem ini akan menciptakan antrean yang lebih tertib, transparan, dan benar-benar adil bagi semua umat Islam di Indonesia,” tandas Gus Irfan.

x|close