Literasi Harga Mati

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 31 Des 2025, 18:39
thumbnail-author
Dr Dyah Rachmawati Sugiyanto
Penulis
thumbnail-author
Tasya Paramitha
Editor
Bagikan
Dr Dyah Rachmawati Sugiyanto, Pakar Komunikasi, Dosen Komunikasi Pasca-Sarjana Universitas Paramadina, Pranata Humas Perpusnas RI Dr Dyah Rachmawati Sugiyanto, Pakar Komunikasi, Dosen Komunikasi Pasca-Sarjana Universitas Paramadina, Pranata Humas Perpusnas RI (Istimewa)

Ntvnews.id, Jakarta - Sudah banyak peristiwa komunikasi yang dilalui oleh bangsa Indonesia dalam satu tahun terakhir. Salah satu yang paling menyita perhatian publik adalah pergerakan pemengaruh dalam ruang demokrasi yang menyuarakan 17 + 8 tuntutan rakyat. Ia berbicara lantang, konsisten, dan mampu menggerakkan kesadaran banyak orang.

Seseorang yang berani bersuara di ruang publik, terlebih dalam isu-isu kebangsaan, tidak mungkin berdiri tanpa pondasi literasi yang kuat. Dari Denmark, nun jauh di sana, seolah ia membuktikan bahwa amunisi utama dalam menyusun argumen, membaca situasi, dan membangun pengaruh bukanlah sekadar keberanian, melainkan literasi. Kemampuan membaca data, memahami konteks, menyusun narasi, dan mempertanggungjawabkan setiap pernyataan.

Fenomena ini menjadi teguran yang cerdas—bahwa sudah saatnya literasi tidak lagi diperlakukan sebagai program sektoral, tetapi bergerak menjadi gerakan sosial, digital, dan kebangsaan.

Indonesia darurat membaca. Meski singkat, kalimat ini menyimpan makna yang dalam. Derasnya arus informasi yang menghujani kita setiap hari melalui kanal digital justru berpotensi menciptakan kebingungan, jika tidak disertai kecakapan literasi yang memadai. Informasi tanpa kemampuan menyaring hanya akan menjelma kebisingan. Lebih berbahaya lagi ketika di dalamnya terselip berita bohong, narasi yang menakut-nakuti, atau klaim tanpa sumber yang jelas, resmi, dan dapat ditelusuri.

Budaya gemar membaca dan kecakapan literasi tidak mungkin dibebankan pada satu pihak saja. Literasi kerap disandingkan dengan budaya membaca dan diposisikan sebagai fondasi pembangunan manusia. Namun perlu disadari, literasi bukan semata urusan perpustakaan—meskipun perpustakaan tetap memiliki peran penting sebagai ruang hidup sosial, tempat para pemustaka bertumbuh menjadi pribadi yang literat, kritis, dan reflektif.

Literasi justru menemukan akar terkuatnya di ruang yang paling dekat dengan kehidupan sehari-hari: keluarga.

Kita bisa menemukan contoh sederhana betapa literasi di keluarga memiliki dampak yang menentukan. Seorang anak yang terbiasa melihat orang tuanya membaca, meski hanya sepuluh menit sebelum tidur, akan memaknai membaca bukan sebagai kewajiban sekolah, melainkan sebagai bagian dari kehidupan. Anak yang diajak berdiskusi tentang isi cerita, ditanya pendapatnya, atau diminta menceritakan ulang dengan bahasanya sendiri, artinya ia sedang belajar lebih dari sekadar membaca. Ia belajar berpikir, menyimak, dan berargumentasi.

Literasi di keluarga juga tampak ketika orang tua tidak serta-merta melarang anak mengakses gawai, tetapi mendampinginya. Menguji anak dengan bertanya: “Informasi ini dari mana?”, “Bagaimana kamu bisa tahu?”, “Mengapa kamu tertarik dengan konten ini?” Pertanyaan-pertanyaan sederhana itu adalah latihan literasi yang sangat mendasar, namun menentukan.

Inklusivitas sosial menjadi pendekatan paling relevan dalam membangun budaya baca. Terlebih, akses bacaan kini tidak lagi dibatasi ruang dan waktu. Literasi telah menjelma menjadi hak digital warga. Karena itu, membaca dan menulis semestinya dipahami sebagai praktik kebangsaan, bukan aktivitas individual semata.

Ilustrasi anak membaca/belajar. <b>(Pixabay)</b> Ilustrasi anak membaca/belajar. (Pixabay)

Lalu bagaimana literasi di keluarga bisa diukur dan dievaluasi?

Literasi tidak selalu harus diukur dengan angka yang rumit. Di tingkat keluarga, literasi dapat dilihat dari kebiasaan dan kualitas interaksi. Seberapa sering keluarga menyediakan waktu membaca bersama? Apakah percakapan di rumah memberi ruang pada anak untuk bertanya dan pendapat? Apakah keluarga terbiasa memverifikasi informasi sebelum mempercayai dan menyebarkannya?

Evaluasi literasi keluarga juga tampak dari perubahan sikap, antara lain, anak tidak mudah terprovokasi informasi sensasional, remaja mampu berargumen, dan orang tua bersedia menemani anaknya belajar. Di titik inilah literasi menunjukkan wajahnya yang paling esensial, bukan sekadar kemampuan teknis membaca, melainkan kecakapan hidup.

Budaya baca memang dapat dimulai dari langkah yang sangat sederhana. Namun dampaknya tidak pernah sederhana. Dari keluarga, literasi tumbuh menjadi kesadaran sosial. Dari kesadaran sosial, literasi menjelma menjadi kekuatan kebangsaan.

Karena itu, literasi patut diperlakukan sebagai isu berbasis data, bukan asumsi. Ia perlu diukur, dievaluasi, dan diperbaiki—bukan sekadar dirayakan dalam seremoni. Literasi adalah fondasi berpikir, benteng dari disinformasi, dan syarat utama warga negara yang merdeka dalam berpikir.

Pada akhirnya, literasi bukan pilihan.
Ia adalah harga mati.

Literasi sebagai Tanda

Ilustrasi menulis/belajar. <b>(Pixabay)</b> Ilustrasi menulis/belajar. (Pixabay)

Dalam perspektif komunikasi, literasi sesungguhnya bukan hanya kemampuan teknis membaca dan menulis. Ia adalah tanda. Setiap tanda selalu memuat makna berlapis. Roland Barthes, melalui teori semiotikanya, membantu kita memahami bagaimana literasi bekerja tidak hanya di level praktik, tetapi juga di level simbolik dan ideologis.

Pada tataran denotasi, literasi kerap dipahami secara sederhana: kemampuan membaca, menulis, dan memahami teks. Di sinilah literasi sering berhenti, diukur melalui angka statistik, indeks, dan laporan capaian program. Membaca buku, mengakses informasi, atau mampu menulis laporan dianggap cukup untuk menyatakan seseorang literat.

Namun dalam kehidupan sosial, literasi tidak pernah berhenti pada makna denotatifnya.

Literasi bergerak ke wilayah konotasi, makna yang dibentuk oleh pengalaman, budaya, dan relasi kuasa. Di titik ini, literasi dimaknai sebagai kecakapan berpikir kritis, kemampuan memilah informasi, keberanian bertanya, dan kesanggupan menyusun argumen. Seseorang yang literat bukan hanya yang banyak membaca, tetapi yang mampu memahami konteks, mengenali kepentingan di balik narasi, serta tidak mudah terjebak pada sensasi dan manipulasi informasi.

Di ruang digital, konotasi literasi semakin menguat. Literasi menjadi penanda kelas simbolik: siapa yang mampu berbicara dengan data, siapa yang hanya bersuara dengan emosi. Siapa yang membaca sebelum membagikan, siapa yang sekadar ikut arus.

Lebih jauh lagi, literasi telah menjelma menjadi mitos, sebagaimana dipahami Barthes, yakni makna yang dianggap alamiah, wajar, dan seolah tak perlu dipertanyakan. Dalam mitos kebangsaan, literasi diposisikan sebagai fondasi kemajuan, prasyarat demokrasi, dan syarat warga negara yang berdaya. Kita mengulang narasi itu terus-menerus, bahwa bangsa yang maju adalah bangsa yang literat.

Ilustrasi orang tua dan anak. <b>(Pixabay)</b> Ilustrasi orang tua dan anak. (Pixabay)

Namun mitos tidak selalu negatif. Mitos justru menjadi kekuatan ketika ia disadari dan dikelola. Ketika literasi dimitoskan sebagai “harga mati”, ia bekerja sebagai ideologi pemersatu, sebuah kesepakatan kolektif bahwa membaca, berpikir, dan belajar adalah nilai yang tidak bisa ditawar.

Di sinilah pentingnya kesadaran kritis. Ketika literasi hanya dirayakan sebagai slogan, ia kehilangan daya transformasinya. Tetapi ketika literasi dimaknai sebagai praktik hidup yang dimulai dari keluarga, diperkuat oleh komunitas, dan difasilitasi negara, maka mitos literasi berubah menjadi energi sosial.

Dalam keluarga, literasi sebagai tanda bekerja sangat nyata. Anak yang melihat orang tuanya membaca sedang menyerap makna konotatif bahwa membaca adalah kebiasaan yang bernilai. Ketika keluarga membiasakan diskusi, verifikasi informasi, dan dialog terbuka, literasi sedang dimitoskan sebagai cara hidup. Literasi dimaknai bukan sebagai perintah dan kewajiban, melainkan kebutuhan.

Maka, literasi bukan sekadar kemampuan individual, tetapi simbol kebangsaan. Ia menandai siapa kita sebagai masyarakat. Apakah kita bagian dari mereka yang mudah terombang-ambing oleh informasi, atau mampu berdiri tegak dengan nalar? Apakah demokrasi kita ditopang oleh emosi sesaat, atau oleh kesadaran kritis yang tumbuh dari kebiasaan membaca dan berpikir?

Melalui kacamata semiotika, kita belajar bahwa literasi bukan hanya soal apa yang kita baca, tetapi makna apa yang kita bangun bersama. Dan ketika makna itu disepakati sebagai nilai bersama, literasi tak lagi bisa ditawar.

Ia menjadi, sekali lagi: harga mati.

Dr Dyah Rachmawati Sugiyanto, Pakar Komunikasi, Dosen Komunikasi Pasca-Sarjana

Universitas Paramadina, Pranata Humas Perpusnas RI

x|close