Ntvnews.id, Jakarta - Penunjukan Letjen Djaka Budi Utama sebagai Direktur Jenderal Bea dan Cukai oleh Presiden Prabowo Subianto disambut dengan harapan besar, khususnya dalam upaya memperkuat penerimaan negara dari sektor kepabeanan dan cukai. Dalam pernyataannya, Djaka menegaskan komitmennya untuk memastikan target penerimaan negara dapat tercapai secara optimal.
Industri hasil tembakau (IHT), yang menyumbangkan Rp216,9 triliun dari Cukai Hasil Tembakau (CHT) pada 2024, menjadi salah satu sektor yang menaruh harapan besar pada kepemimpinan baru ini. Di tengah tekanan ekonomi dan melemahnya daya beli masyarakat, para pelaku industri dan petani tembakau mendorong pemerintah untuk menerapkan moratorium kenaikan tarif cukai rokok selama tiga tahun ke depan.
Sahminudin, Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) NTB, menyatakan bahwa para petani berharap banyak pada arah kebijakan Dirjen Bea Cukai yang baru. Ia memperingatkan bahwa kenaikan tarif CHT di tengah kondisi ekonomi yang belum stabil bisa menimbulkan efek berantai yang merugikan, terutama bagi sektor yang menyerap banyak tenaga kerja seperti industri hasil tembakau.
“Penting sekali moratorium kenaikan CHT, karena untuk menstabilkan daya beli masyarakat itu,” ujar Sahminudin dalam keterangannya, Rabu, 11 Juni 2025.
Baca Juga: 4 Pulau Aceh Beralih ke Sumut, Cadangan Migas Jadi Sorotan
Ia menambahkan bahwa kebijakan semacam ini bisa menjadi upaya pencegahan terhadap potensi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) dan bisa memastikan hasil panen petani tetap terserap. Menurut Sahminudin, lemahnya pengawasan terhadap peredaran rokok ilegal turut memperparah kondisi yang dihadapi petani.
“Otomatis mengurangi kebutuhan tembakaunya, jadi nanti langsung petani terdampak juga itu. Apalagi sekarang ini kan pemerintah kita bilang belum mampu menjaga rokok ilegal,” katanya.
Sementara itu, Elizabeth Kusrini, Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center (IBC), menyampaikan pandangan bahwa moratorium kenaikan tarif CHT bisa memberikan ruang bernapas bagi seluruh ekosistem industri tembakau, mulai dari petani, buruh pabrik, hingga pelaku UMKM di sektor distribusi. Menurutnya, kestabilan harga rokok akan membantu menjaga ketersediaan lapangan pekerjaan.
“Ketika cukai dinaikkan secara agresif, industri cenderung mengurangi pembelian bahan baku untuk efisiensi, sehingga pendapatan petani rentan terdampak. Tanpa reformasi menyeluruh dalam tata niaga tembakau, buruh tetap rentan terhadap pemutusan kerja sebagai dampak tekanan efisiensi dari perusahaan,” jelasnya.
Baca Juga: AHY di ICI 2025: Infrastruktur Fondasi Pertumbuhan yang Inklusif
Elizabeth juga menyoroti bahwa ketidakpastian kebijakan tarif cukai, seperti kenaikan drastis 23% pada tahun 2020, dapat mendorong industri mengambil langkah ekstrem, termasuk PHK massal dan relokasi produksi.
“Risiko terbesar adalah pada sektor padat karya, yakni buruh Sigaret Kretek Tangan (SKT) dan petani tembakau, yang posisinya rentan dan kurang terlindungi dari dinamika pasar. Jika pabrik gulung tikar atau menurunkan kapasitas produksi karena ketidakpastian tarif, kelompok ini yang pertama terdampak,” tutup Elizabeth.
Dengan latar belakang tersebut, usulan moratorium tarif cukai selama tiga tahun dianggap sebagai langkah strategis yang bisa menjaga keberlangsungan industri, melindungi tenaga kerja, dan tetap menjamin optimalisasi penerimaan negara tanpa membebani kelompok masyarakat paling rentan dalam rantai pasok tembakau.