Ntvnews.id, Jakarta - Kebijakan pemerintah terkait regulasi industri hasil tembakau kembali menjadi sorotan, khususnya dari para kepala daerah penghasil tembakau. Penolakan terhadap wacana penerapan kemasan rokok polos atau plain packaging serta implementasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 terus menguat, karena dianggap dapat mengancam keberlangsungan industri hasil tembakau (IHT) dan menurunkan kontribusinya terhadap perekonomian lokal.
Sejumlah kepala daerah menyampaikan bahwa regulasi tersebut, termasuk rencana plain packaging, terkesan mencerminkan kepentingan luar yang tidak sejalan dengan semangat kedaulatan nasional. Mereka menilai, pendekatan kebijakan ini bertentangan dengan garis besar visi Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, yang menekankan pentingnya Indonesia untuk menentukan arah kebijakannya sendiri tanpa tekanan asing.
Presiden Prabowo, dalam pidatonya memperingati Hari Lahir Pancasila pada 2 Juni 2025 di Gedung Pancasila, menyampaikan peringatan tegas mengenai pengaruh kekuatan asing terhadap arah kebijakan dalam negeri.
“Kita tidak boleh dipermainkan oleh bangsa mana pun. Kita ingat kata-kata proklamator, kita bangsa Indonesia harus berdiri di atas kaki kita sendiri,” ujar Prabowo dalam pidato tersebut.
Pernyataan ini memperkuat dugaan bahwa sejumlah pasal dalam PP 28/2024, termasuk plain packaging, merupakan bagian dari adopsi prinsip-prinsip Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang digagas oleh WHO, meskipun Indonesia belum meratifikasinya secara resmi. Dalam konteks tersebut, Presiden Prabowo menegaskan bahwa Indonesia harus memiliki kendali penuh atas arah kebijakan strategisnya.
Kekhawatiran ini juga mencuat di tengah kecurigaan mengenai keterlibatan lembaga asing dalam mendanai LSM-LSM yang menjalankan agenda anti-tembakau di Tanah Air. Mengacu pada prinsip kedaulatan yang menjadi pondasi pemerintahan Prabowo, pemerintah pun akhirnya mengumumkan pembatalan wacana plain packaging.
Wakil Menteri Perindustrian, Faisol Riza, sebelumnya menegaskan bahwa wacana tersebut tidak akan dilanjutkan dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) sebagai turunan dari PP 28/2024.
Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, termasuk salah satu kepala daerah yang vokal menolak regulasi tembakau yang dinilai merugikan ekonomi daerah.
“Jawa Timur menjadi tulang punggung penerimaan Cukai Hasil Tembakau (CHT) nasional. Kebijakan yang memengaruhi industri ini harus dipertimbangkan dengan cermat,” ujarnya.
Khofifah juga sebelumnya telah menandatangani dokumen Komitmen Bersama dengan Serikat Pekerja dan Serikat Buruh yang menyuarakan revisi terhadap pasal-pasal tembakau dalam PP 28/2024 dan menolak rencana kenaikan tarif cukai tahun 2026.
Dukungan terhadap pembatalan plain packaging juga datang dari Bupati Situbondo, Yusuf Rio Wahyu Prayogo. Ia menilai keputusan tersebut sebagai langkah penting bagi daerah-daerah yang menggantungkan ekonomi pada sektor tembakau.
“Pembatalan penyeragaman bungkus rokok adalah langkah positif, terutama bagi daerah penghasil tembakau seperti Situbondo. Industri ini menyumbang penerimaan negara yang besar dan mendukung perekonomian daerah,” ujar Yusuf dalam keterangannya, Jumat, 13 Juni 2025.
Rio menjelaskan bahwa pembatasan terhadap IHT bisa berdampak langsung terhadap pendapatan daerah. Situbondo, menurutnya, menerima Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) sebesar Rp59 miliar pada tahun 2024, dan diproyeksikan meningkat menjadi Rp73 miliar pada 2025. Ia juga mengingatkan bahwa plain packaging justru bisa memicu peningkatan peredaran rokok ilegal.
“Fokus pemerintah seharusnya pada pengendalian rokok ilegal, bukan pembatasan yang justru melemahkan industri legal,” tegasnya.
Nada serupa disampaikan oleh Bupati Temanggung, Agus Setyawan, yang menyoroti pentingnya keseimbangan antara kebijakan kesehatan dan keberlanjutan ekonomi masyarakat.
“Kami berharap ada keseimbangan antara kepentingan kesehatan dan ekonomi. Indonesia bukan Singapura atau Australia. Industri rokok kita melibatkan banyak pihak, dari hulu ke hilir,” ungkapnya.
Ia juga menambahkan bahwa kebijakan seperti kenaikan cukai tahunan dan plain packaging dapat mengurangi serapan industri terhadap hasil panen tembakau rakyat. Dampaknya akan terasa langsung pada para petani dan buruh sektor IHT. “Perputaran uang di Temanggung, Wonosobo, dan sekitarnya saat musim panen tembakau bisa mencapai Rp1,6 hingga Rp1,8 triliun,” tuturnya.
Dengan semakin nyaringnya suara kepala daerah dan masyarakat yang menggantungkan hidup pada industri hasil tembakau, seruan untuk mengevaluasi kembali PP 28/2024 dan regulasi turunannya semakin menguat. Pemerintah pun diharapkan mampu merumuskan kebijakan yang seimbang antara aspek kesehatan publik dan keberlanjutan ekonomi nasional.