EUDR Jadi Peluang Industri Sawit Indonesia Masuki Pasar Global

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 14 Nov 2025, 14:37
thumbnail-author
Naurah Faticha
Penulis
thumbnail-author
Tasya Paramitha
Editor
Bagikan
Ilustrasi - Seorang pekerja menaikkan tandan buah segar (TBS) sawit ke dalam kendaraan pengangkut usai panen di perkebunan PT GSDI Kabupaten Kota Waringin Barat, Kalimantan Tengah, Kamis, 30 Oktober 2025. (Antara/Subagyo) Ilustrasi - Seorang pekerja menaikkan tandan buah segar (TBS) sawit ke dalam kendaraan pengangkut usai panen di perkebunan PT GSDI Kabupaten Kota Waringin Barat, Kalimantan Tengah, Kamis, 30 Oktober 2025. (Antara/Subagyo) (Antara)

Ntvnews.id, Jakarta - Sejumlah pihak menekankan agar industri sawit, termasuk di Indonesia, memanfaatkan European Union Deforestation Regulation (EUDR) sebagai peluang untuk memperluas akses ke pasar global.

Adjunct Professor dari John Cabot University, Roma, Pietro Paganini, menyampaikan dalam paparannya pada hari kedua forum 21st Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2025 di Nusa Dua, Bali, Jumat, 14 November 2025, bahwa industri sawit berada pada titik penting dalam menghadapi tekanan regulasi dan persepsi negatif dunia.

"Tantangan terbesar sawit saat ini bukanlah produktivitas, melainkan masalah persepsi dan kepercayaan. Kelapa sawit adalah komoditas yang paling produktif dan paling inklusif, tetapi justru memiliki reputasi paling buruk,” ujarnya.

Paganini menekankan bahwa kesenjangan antara fakta dan persepsi membuat sawit sering dijadikan kambing hitam, padahal komoditas ini berperan besar dalam pengentasan kemiskinan, pemenuhan kebutuhan gizi dunia, serta efisiensi penggunaan lahan.

Baca Juga: BPDP: Industri Sawit Siap Jadi Tulang Punggung Pendapatan Negara

Terkait implementasi EUDR, Paganini menyebut regulasi tersebut sebagai awal dari gelombang baru standar pasar global. Ia menilai, daripada melihat EUDR hanya sebagai hambatan, industri sawit sebaiknya menjadikannya arena kompetisi untuk membangun kepercayaan dan nilai tambah.

"Nol deforestasi dan keterlacakan penuh akan menjadi standar baru pasar global. EUDR membuka perlombaan global untuk membangun kepercayaan dan inovasi," katanya.

Paganini juga menyerukan agar negara produsen dan industri sawit tidak bersikap reaktif, melainkan mengambil peran pemimpin dalam diplomasi keberlanjutan global.

Sementara itu, Managing Editor dan Analis Fastmarkets Palm Oil Analytics, Sathia Varqa, menekankan bahwa dinamika perdagangan global yang semakin kompleks menuntut negara eksportir, termasuk Indonesia, untuk lebih strategis dan adaptif dalam menjaga posisi di pasar minyak nabati dunia.

Menurutnya, kompetisi global minyak nabati kini semakin ketat, terutama karena meningkatnya produksi dan ekspansi minyak kedelai.

Baca Juga: BPDP: Industri Sawit Siap Jadi Tulang Punggung Pendapatan Negara

"Minyak sawit masih menjadi minyak nabati paling banyak dikonsumsi di dunia, diikuti oleh minyak kedelai, kanola, dan bunga matahari," katanya.

Namun, Sathia menambahkan, dalam beberapa tahun terakhir, minyak kedelai menunjukkan pertumbuhan pesat dan mulai menjadi kompetitor utama bagi minyak sawit, didorong ekspansi besar-besaran perkebunan kedelai di Amerika Serikat dan Brasil yang kini menyuplai sekitar 70 persen kebutuhan kedelai global. Sementara luas area tanam kelapa sawit Indonesia cenderung stagnan, berpotensi menurunkan daya saing jangka panjang di pasar internasional.

Sathia menjelaskan ada tiga dinamika utama yang akan memengaruhi perdagangan komoditas Indonesia pada 2026, yakni rezim perdagangan internasional, transisi energi global, dan arah kebijakan domestik Indonesia.

Indonesia saat ini menghadapi tekanan ganda, yaitu tuntutan keberlanjutan dari pasar Eropa dan hambatan tarif dari Amerika Serikat, yang berdampak pada penurunan volume ekspor minyak sawit ke kedua kawasan tersebut. Regulasi global lain, seperti Global Biofuel Mandates dan Renewable Energy Directive (RED) Uni Eropa, juga akan memengaruhi permintaan biodiesel berbasis sawit dan menuntut Indonesia menyesuaikan standar produksinya.

Baca Juga: Wamentan Sudaryono: Perkebunan dan Industri Sawit Kuatkan Posisi Indonesia pada Dunia

Di tengah tekanan eksternal, kebijakan domestik menjadi faktor penting penentu masa depan industri sawit. “Meski produksi sawit Indonesia pada Januari–Agustus 2025 tumbuh 4,21 persen dibanding tahun sebelumnya, keberlanjutan tren positif ini sangat bergantung pada kebijakan domestik, terutama terkait tata kelola lahan dan dukungan pemerintah terhadap sektor hulu-hilir,” ujar Sathia.

Data Fastmarkets Palm Oil Analytics menunjukkan bahwa produksi sawit global pada 2025–2026 diperkirakan mencapai 83,22 juta ton, meningkat 2,83 juta ton dibanding tahun sebelumnya, membuka peluang bagi Indonesia untuk memperkuat posisinya sebagai kontributor utama pasokan minyak nabati dunia.

"Indonesia harus menyeimbangkan antara kepentingan perdagangan, keberlanjutan, dan produktivitas agar tetap kompetitif di tengah perubahan arah pasar dunia," katanya.

(Sumber: Antara) 

x|close