Baca Juga: Irfan Setiaputra Bongkar Rahasia Mengatasi Krisis Keuangan Garuda Indonesia
"Di dalam harga tiket yang Bapak-Ibu sekalian beli itu ada banyak komponen. Ada tarif batas atas (TBA) yang ditetapkan kementerian (Perhubungan). Maskapai enggak boleh jual lebih dari itu. Nah, itu hitungannya asumsi harga avtur, exchange rate (kurs), asumsi panjangnya perjalanan istilah kita block hour atau jarak dan keuntungan dengan keterisian pesawat. Misalnya 65 persen itu disebut tarif batas," imbuh Irfan.
"Di atas itu ada banyak komponen seperti pajak, PJP2U (Pelayanan Jasa Penumpang Pesawat Udara) yang zaman dulu kita sebut Airport Tax, Jasa Raharja, dan segala macam," tambahnya.
Irfan mencontohkan, jika penumpang melakukan perjalan ke Yogyakarta dengan harga tiket sekitar Rp1,2 juta, maka yang diterima maskapai itu hanya Rp900 ribuan.
"Kayak contohnya PJP2U, dulu kita beli tiket datang check-in langsung bayar di situ. Sekarang dimasukin ke harga tiket, dua tahun lalu mereka naikkan, enggak bilang-bilang, yang dimarain saya. Kemudian persoalan ke luar negeri, harga avtur beli di Jakarta. Kalau avtur tersebut dipakai buat perjalanan dalam negeri dikenakan pajak, ke luar negeri tidak dikenakan pajak. Harga tiket di dalam negeri dikenakan pajak. Anda mau ke Jogja dikenakan pajak tiketnya, ke Hong Kong enggak dikenakan pajak, jadi pajak salah satunya. Tapi kita ini kan maskapai nasional, kita enggak boleh mempertanyakan pajak, dan tentu saja kita ingin berkontribusi," ungkap Irfan.
Irfan mengaku telah membeberkan struktur harga tiket pesawat kepada satgas penurunan harga tiket pesawat. "Makannya saya mengajak satgas, saya pernah dipanggil sekali, saya bilang ini loh strukturnya (harga tiket pesawat). Apakah struktur ini semuanya pantas kita bebankan ke penumpang?" tukas Irfan.