"Saya bilang, pemberian maaf kepada koruptor tak bisa dilakukan. Kalau itu dilakukan, maka bertentangan dengan hukum. Tak boleh ada pemberian maaf secara diam-diam kepada koruptor," tegas Mahfud.
Setelah itu, Mahfud mencatat beberapa pendapat lain yang muncul, seperti dari Menko Kumham Yusril Ihza Mahendra, yang menyebutkan bahwa Presiden memiliki kewenangan untuk memberikan amnesti, dan Menteri Hukum Supratman Andi Agtas, yang membahas mekanisme denda damai dalam UU Kejaksaan. Selain itu, advokat Hotman Paris juga menyebut Presiden bisa memberi amnesti dengan mengacu pada amnesti pajak. .
"Tak apa, itu semua perbedaan pendapat. Saya tetap bilang, tetap tak boleh memaafkan koruptor secara diam-diam. Saya tahu betul bahwa Presiden bisa memberi amnesti, tapi tak bisa dilakukan secara diam-diam. Pemberian amnesti harus dibicarakan dengan DPR," kata Mahfud.
Mahfud MD (Nusantara TV)
"Semua amnesti dilakukan terbuka, tak ada yang diberikan diam-diam. Amnesti Pajak juga disepakati DPR melalui perdebatan yang terbuka dan panas hingga dibuat dulu UU Tax Amnesty. Jadi, soalnya terletak pada memberi maaf dan mengembalikan uang korupsi secara diam-diam," sambung dia.
Mahfud juga mengingatkan bahwa pemerintah telah memberikan klarifikasi bahwa mekanisme denda damai hanya dapat diterapkan pada tindak pidana ekonomi, bukan pada kasus korupsi. Penjelasan ini telah disampaikan oleh Menteri Hukum dan Kapuspenkum Kejaksaan Agung.
Menurut Mahfud, jika pemerintah memberikan pengampunan kepada koruptor secara diam-diam tanpa adanya dasar hukum seperti UU Pemaafan, hal tersebut dapat dianggap sebagai tindakan korupsi. Ia menilai hal itu sama saja dengan membuka jalan bagi pihak tertentu untuk mendapatkan keuntungan secara melanggar hukum yang merugikan negara.
"Itu tafsir 'jika' hal itu dilakukan, di mana unsur fitnah dan pencemaran nama baik atas pendapat tersebut? Saya bilang 'jika' itu dilakukan oleh Presiden, nyatanya tidak dilakukan. Jadi, tidak ada berita bohong dan fitnah di sini," kata Mahfud.