"Pada saat sertifikat HGB itu terbit itu masih daratan. Kemudian terjadi abrasi. Nah sekarang kondisi eksistingnya sudah engga ada tanahnya. Nyatanya laut semua. Kalau yang begitu menurut pandangan saya kita masih bisa tolerir walaupun harus dikoreksi karena yang di wilayah laut tentu harus dikeluarkan dari HGB-nya. Tetapi kalau kemudian diterbitkan sejak awal itu adalah kawasannya adalah laut itu kan jelas tidak memiliki alas hukum, tidak memiliki alas hak. Itulah yang disebut oleh Mas Trenggono (Menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono) mungkin sebagai SHGB yang ilegal. Karena memang tidak memiliki alas hukum yang benar," tuturnya.
"Nah hari ini ada Walhi, ada banyak NGO yang juga menyoroti persoalan ini. Komisi II DPR membuka diri untuk mari kita lihat persoalan ini dengan objektif. Karena belum selesai urusan Jakarta dan Bekasi hari ini muncul lagi di Surabaya yang juga jumlahnya cukup mencengangkan. Saya kira di banyak tempat juga," imbuhnya.
Rifqi mengungkapkan dalam diskusi internal di Komisi II DPR, ada juga yang menyampaikan di beberapa tempat ada tambak-tambak di sekitar bakau dan seterusnya. Yang memang itu bisa dikeluarkan sertifikasi tanah apakah itu sifatnya adalah HGB dan seterusnya.
"Saya bilang hal-hal seperti ini mari kita cermati betul. Jangan sampai juga mengatasnamakan misalnya wilayah untuk perikanan tambak pakai HGB tapi peruntukannya justru bukan untuk itu. Nah hal-hal ini jujur kami harus lihat dengan baik dengan betul. Prinsip dasarnya jika itu melanggar hukum Komisi II DPR RI tentu akan sangat tegas meminta kepada Menteri ATR/BPN. Satu, untuk mencabut sertifikat itu. Yang kedua untuk melakukan tracing kepada pihak-pihak mana saja yang menerbitkan sertifikat yang kalau betul adalah ilegal seperti pernyataan Menteri KKP. Dan yang ketiga tentu kita mendorong agar ada proses penegakan hukum terhadap hal ini," pungkasnya.