Ntvnews.id, Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI meminta PT Pertamina Patra Niaga segera mengklarifikasi informasi soal adanya Pertalite yang dioplos menjadi Pertamax. Sebab, hal ini menjadi isu yang dibicarakan masyarakat secara luas sekarang ini. Jangan sampai, Presiden Prabowo Subianto turun tangan menjelaskan perkara tersebut.
Ini dinyatakan Komisi XII DPR, dalam rapat dengan PT Pertamina Patra Niaga dan sejumlah produsen BBM dan operator SPBU, Rabu, 26 Februari 2025.
"Selain di sini, dengan difasilitasi oleh pimpinan Komisi, nanti (PT Pertamina Patra Niaga) konferensi pers," ujar Anggota Komisi XII DPR Ramson Siagian, kompleks parlemen, Senayan, Jakarta.
"Semua nanti di sini (yang rapat) ikut, bahwa yang lain-lain apa yang dijelaskan Pertamina Patra Niaga itu benar," imbuhnya.
Hal ini harus dilakukan, kata Ramson, agar tak menjadi opini buruk bagi Pertamina Patra Niaga maupun pemerintah. Apalagi sampai muncul narasi bahwa masyarakat merasa dibohongi dengan adanya pengoplosan tersebut.
"Supaya jangan menjadi opini negatif ke publik. Nanti publik merasa dibohongi bahaya juga ini," tuturnya.
"Jadi perlu langsung diklarifikasi oleh Pertamina Patra Niaga," imbuh Ramson.
Klarifikasi dilakukan, agar semua pihak tenang. Masyarakat pun merasa aman.
Jangan sampai, lanjut Ramson, Prabowo sampai turun tangan memberikan penjelasan ke masyarakat. Sebab, pemerintahan Prabowo sangat memberikan perhatian besar terhadap segala persoalan rakyat.
"Karena memang pemerintahan Bapak Presiden Prabowo Subianto sangat memperhatikan kepentingan rakyat, termasuk soal ini juga," kata dia.
"Jadi harus diklarifikasi juga. Jangan sampai Bapak Presiden harus mengklarifikasi soal itu," lanjut dia.
Diketahui, informasi mengenai Pertalite yang dioplos menjadi Pertamax ini, pertama kali diungkap oleh Kejaksaan Agung (Kejagung). Ini merupakan modus dari kasus korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018-2023.
Dalam kasus ini, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan dan enam orang lainnya ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Kasus ini diperkirakan merugikan keuangan negara Rp 193,7 triliun.