Ntvnews.id, Jakarta - Meski Jamaah Islamiyah (JI) telah secara resmi menyatakan pembubaran diri pada Juni 2024, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menekankan bahwa kewaspadaan terhadap paham radikal harus tetap menjadi prioritas utama.
Hal ini disampaikan oleh Darmansjah Djumala, Kelompok Ahli BNPT Bidang Kerjasama Internasional, dalam sebuah diskusi panel bertajuk “Global Terrorism Index 2025: Findings and Lessons Learned for Indonesia” yang digelar di Jakarta, Kamis, 10 April 2025.
Menurut Djumala, keputusan pembubaran JI memang layak diapresiasi sebagai langkah maju dalam penanggulangan terorisme di Indonesia.
Namun, bahaya ideologi radikal yang sudah lama tertanam di dalam tubuh organisasi tersebut tidak serta-merta menghilang. Ia menegaskan pentingnya pembinaan berkelanjutan dan program deradikalisasi yang menyeluruh bagi para eks anggota JI.
"Meski Jamaah Islamiyah sudah membubarkan diri, kita harus tetap waspada terhadap ideologi yang mereka yakini selama ini. Untuk itu dirasa perlu untuk terus melakukan pembinaan dan program deradikalisasi bagi para mantan anggota organisasi tsb. dalam jangka panjang," kata dia.
Sejak deklarasi pembubaran, sekitar 1.400 mantan anggota Jamaah Islamiyah dikabarkan telah kembali dan hidup di tengah masyarakat. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah dan BNPT untuk memastikan mereka tidak kembali terpapar radikalisme.
Darmansjah Djumala (BNPT/ ntvnews.id)
Pendekatan humanis yang mengedepankan edukasi dan integrasi sosial dinilai menjadi langkah strategis dalam mencegah potensi kebangkitan kembali sel-sel teroris.
Dalam kesempatan yang sama, Dubes Djumala juga menyoroti kondisi kawasan Asia Selatan yang kini berada di peringkat tertinggi dalam skala tindakan terorisme global berdasarkan Global Terrorism Index (GTI) 2025. Fokus perhatian tertuju pada isu pengungsi Rohingya yang dinilai rentan dimanfaatkan oleh jaringan teroris internasional.
Berdasarkan data UNHCR per Mei 2024, terdapat lebih dari 2.000 pengungsi Rohingya di Indonesia yang tersebar di wilayah Aceh, Medan, dan Makassar.
Djumala mengingatkan bahwa sejumlah pelaku radikal dari Bangladesh terindikasi memiliki koneksi dengan kelompok militan Rohingya, sebagaimana diungkap Delegasi India dalam pertemuan Joint Working Group (JWG) Indonesia-India, 23 Agustus 2024 lalu.
“Sebagai langkah pre-emptive, baik kiranya jika Indonesia, India dan Bangladesh bekerja sama dalam pertukaran informasi jaringan terorisme, khususnya yang terkait dengan pengungsi Rohingya. Kerjasama ketiga negara tsb. diharapkan dapat menekan potensi terorisme di kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara sejak dini,” ujarnya.