Ntvnews.id, Jakarta - Mobil Daihatsu Xenia bernomor polisi BD 1972 G, milik Amril Yudani (65), disita paksa oleh debt collector (DC) salah satu perusahaan pembiayaan (leasing) di Bengkulu. Peristiwa penarikan ini terjadi pada Jumat, tanggal 23 Mei 2025 lalu, sekira pukul 13.00 Waktu Indonesia Barat (WIB). Saat itu, Amril tengah mengendari mobilnya melintasi ruas jalan sekitar Danau Dendam Tak Sudah, Kelurahan Dusun Besar, Kecamatan Singaran Pati, Kota Bengkulu.
"Ya benar. Saya dicegat empat orang yang mengaku (DC) dari salah satu leasing Bengkulu. Kunci kontak mobil diambil, saya dipaksa ke kantor leasing. Ketika keluar dari kantor, mobil sudah tidak ada. Saya merasa dijebak," ujar Amril kepada wartawan, Rabu, 25 Juni 2025.
Menurut Amril, dirinya tidak hanya dijebak oleh DC untuk dibawa ke kantor perusahaan leasing. Dirinya juga diintimidasi, dan dipaksa tanda tangan serah terima unit. Sebagai bukti persetujuan ekskusi kendaraan miliknya. "Saya tidak tahu apa isi surat yang disuruh mereka tanda tangan. Prosesnya begitu cepat. Tahu-tahu mobil saya sudah tidak ada," ungkapnya.
Pihak leasing sendiri berkilah telah menarik paksa kendaraan tersebut. DC dari leasing, Setia Budiman Herizon, menjelaskan bahwa pihaknya telah melayangkan surat somasi kepada debitur atas nama Yulizar Dami Nateguna. Yulizar sendiri masih berstatus kerabat dengan pihak keluarga Amril. "Kami sudah somasi ke debitur (Yulizar). Tapi, tidak merespons," kata Setia.
Sementara itu, Yulizar mengakui ihwal somasi tersebut. Hanya saja, dirinya belum sempat menyampaikannya ke pihak keluarga Amril karena kesibukan. Terkait peminjaman BPKB kendaraan, Yulizar memang sudah diizinkan pihak keluarga Amril untuk keperluan usaha. Namun, usahanya sedang dalam kondisi tidak kondusif.
"Memang ada keterlambatan angsuran. Tapi setidaknya, saat eksekusi, saya dilibatkan. Tanya dulu, masih sanggup melunasi atau tidak. Baru eksekusi. Seolah dipaksakan tandatangan, pihak lain yang tidak mengerti, selain debitur. Setelah mobil diekskusi, baru saya dihadirkan. Prosesnya pun dipercepat. Apakah memang seperti ini modusnya? Biar status unit terblokir, dan DC dapat fee penarikan?" beber Yulizar.
Meski demikian, Yulizar menunjukkan itikad baik sebagai nasabah, dan bersedia melunasi tunggakan. Namun, untuk mengeluarkan unit kendaraan yang disita, pihak leasing menekankan beberapa syarat. Yulizar selaku debitur diminta melunasi tunggakan angsuran sebanyak empat bulan. Rinciannya, tiga bulan tunggakan jatuh tempo, dan satu bulan deposit. Ditambah biaya penarikan unit berkisar Rp 15-20 juta kepada DC.
"Soal tunggakan, saya bisa penuhi. Tapi yang bikin saya syok, mereka (DC) meminta biaya administration collateral untuk jasa penarikan unit. Awalnya, mereka minta biaya penarikan kisaran Rp 15-20 juta. Setelah nego, kami dikenakan biaya sebesar Rp 11 juta-an. Jadi total yang harus dibayarkan sebesar Rp 25 juta," terang Yulizar.
Sementara, putra Amril, Tangguh SR, mengatakan ayahnya tidak diberi kesempatan untuk menghubungi keluarga sebelum mobil yang dikendarai diekskusi. Padahal, sang ayah sudah bersikap kooperatif saat proses ekskusi dilakukan.
"Dugaan kami, sengaja seperti itu. Yang diincar lansia atau perempuan. Biar mudah nariknya. nanti, klo mau keluarkan unit, siapin duit. Ini sudah sistematis. Ayah saya diintimidasi, dipaksa tandatangan. Padahal bukan dia debiturnya. Lalu, tidak dijelaskan juga soal rincian biaya terkait biaya tarik sebesar 11 jutaan. Malah kami sempat diminta 15-20 juta. Kami merasa diperas berkedok sistem," kata Tangguh.
Tangguh juga menyesalkan terjadinya dugaan aksi pencurian saat proses pengembalian unit. Pasalnya, dongkrak dan kunci mobil hilang saat ayahnya mengambil unit kendaraan. Saat ditanyakan ke Setia selaku DC perusahaan leasing, dirinya mengakui telah mengambil barang tersebut. Hanya saja, pengakuan Setia, dirinya hanya meminjamnya, dan dipindahkan ke kendaraan lain tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.
"Saya juga sudah coba konfirmasi ke branch manager leasing tersebut. Tapi beliau selalu menghindar. Ditemui di kantornya, alasannya lagi Zoom. Atur janji ketemuan, lagi di Jakarta lah. Pas kembali ke Bengkulu, ada tamu dari Jakarta lah. Sampai akhirnya, dengan berat hati saya koordinasi ke Komisaris Independen Leasing tersebut, Pak Komjen (Purn) Ari Dono Sukmanto," papar Tangguh yang juga jurnalis itu.
Pihak korban pun menilai hal tersebut sudah memenuhi unsur pidana. Sehingga, mereka pun melaporkan kasus ini ke pihak berwajib. Laporan teregistrasi dengan nomor STTPLP/B/284/VI/2025/SPKT/POLRESTA BENGKULU/POLDA BENGKULU tanggal 21 Juni 2025. Hal ini dibenarkan oleh Kapolresta Bengkulu, Kombes Sudarno. "Ya benar. Laporan sudah diterima. Akan kami proses," kata Kapolresta Bengkulu.
Sementara, menurut analis hukum kanwil Kemenkumham Bengkulu, Djodi Siswanto, menilai pihak kreditur mematuhi beberapa hal krusial sebelum melakukan penarikan unit. Pertama, perusahaan pembiayaan harus memberikan peringatan kepada debitur mengenai kewajiban pembayaran. Berikutnya, perusahaan pembiayaan menghubungi debitur untuk mengingatkan kewajiban pembayaran. Termasuk saat akan melakukan eksekusi.
"Artinya, jika debitur tetap tidak membayar, perusahaan pembiayaan dapat mengajukan permohonan eksekusi ke Pengadilan Negeri. Jadi, untuk proses penarikan kendaraan hanya dapat dilakukan setelah ada putusan pengadilan yang mengizinkan eksekusi. Saat eksekusi pun, debitur wajib hadir," tandas Djodi.