Ntvnews.id, Jakarta - Kementerian Hak Asasi Manusia (Kemenham) mendorong adanya perombakan model kemitraan antara pengemudi ojek online (ojol) dengan perusahaan penyedia aplikasi, demi mencegah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di masa mendatang.
Direktur Jenderal Pelayanan dan Kepatuhan HAM, Munafrizal Manan, mengungkapkan bahwa skema kemitraan yang selama ini berjalan bersifat tidak setara atau “imbalance power”. Ia menegaskan bahwa hubungan kemitraan semacam itu tidak layak untuk diteruskan.
"Kementerian HAM berpendapat, model kemitraan seperti versi sekarang tidak boleh diteruskan atau dipertahankan. Apabila masih diteruskan atau dipertahankan, maka itu menjadi wujud itikad buruk perusahaan aplikator untuk sengaja melanggar HAM terhadap para pengemudi ojol," kata Munafrizal di Kantor Kemenham, Jakarta, pada Selasa, 1 Juli 2025.
Pernyataan ini merupakan bagian dari tindak lanjut aduan para pengemudi ojol yang tergabung dalam Koalisi Ojek Nasional, yang datang audiensi ke Kemenham pada 22 Mei 2025. Salah satu sorotan utama dalam aduan mereka adalah ketimpangan dalam relasi kemitraan yang tidak menciptakan situasi saling menguntungkan.
Kemenham pun menyoroti ketimpangan posisi tawar antara penyedia aplikasi dan mitra pengemudi. Dalam praktiknya, pengemudi cenderung harus tunduk pada aturan sepihak yang ditetapkan oleh aplikator.
"Adanya sifat imbalance power antara keduanya menunjukkan bahwa hubungan antara keduanya tidak murni berbentuk kemitraan, tetapi justru berbentuk subordinasi, di mana penyedia aplikasi dalam posisi superior, sedangkan pengemudi ojol dalam posisi inferior," lanjut Munafrizal.
Ia menambahkan bahwa status "mitra" yang kerap diklaim oleh perusahaan penyedia aplikasi tidak boleh menjadi dalih untuk menghindar dari tanggung jawab hukum. Kemenham bahkan menemukan adanya kecenderungan penyalahgunaan istilah tersebut.
"Status kemitraan dan pekerjaan pengemudi ojol sebagai 'bantalan sosial' tidak boleh dijadikan dalih untuk menghindari kewajiban terhadap hak-hak dasar pengemudi ojol," tegas Munafrizal. "Penggunaan istilah 'mitra' tidak boleh dijadikan sebagai perisai menghindari kewajiban hukum," tambahnya.
Munafrizal juga menyoroti peran dominan aplikator dalam membentuk sistem layanan transportasi daring yang sulit dijangkau pengawasan pemerintah. Menurutnya, sistem layanan digital yang dirancang oleh perusahaan aplikasi tidak dapat diakses oleh kementerian/lembaga karena terbatasnya kewenangan.
"Kementerian/lembaga terkait tidak dapat mengakses data digital perusahaan aplikator karena tidak mempunyai kewenangan, kecuali jika ada laporan yang berhubungan dengan penyalahgunaan data pribadi pengguna aplikasi," katanya.
Menurut evaluasi Kemenham, regulasi transportasi daring yang berlaku saat ini masih memberi ruang hukum yang dimanfaatkan oleh perusahaan aplikasi untuk memosisikan diri mereka secara superior terhadap mitra pengemudi.
Untuk itu, Kemenham menyarankan agar status hukum penyedia aplikasi diperjelas—apakah mereka tunduk pada regulasi transportasi umum atau hanya sebagai penyelenggara platform digital.
Selain itu, Kemenham merekomendasikan adanya regulasi baru yang lebih kuat dan menyeluruh untuk memperbaiki tata kelola transportasi daring secara lebih adil dan berorientasi pada hak asasi. Salah satu bentuknya ialah dengan menerbitkan peraturan khusus yang mengakui serta melindungi hak pengemudi ojol.
Kemenham juga menilai pentingnya membedakan antara pengemudi penuh waktu yang dapat dikategorikan sebagai pekerja dengan hak ketenagakerjaan, dan pengemudi paruh waktu yang benar-benar menjalankan peran sebagai mitra, sehingga keduanya memiliki hak dan kewajiban yang jelas dan berbeda.
Di sisi lain, Kemenham menyerukan kepada perusahaan aplikator ojol agar menghormati hak asasi manusia dalam kegiatan bisnis mereka. Ini mencakup "hak mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak, hak atas perlindungan dari perlakuan diskriminatif, serta hak atas jaminan sosial," tegas Munafrizal.
(Sumber: Antara)