Ntvnews.id, Nepal - Nepal yang kini berstatus republik demokratis kembali diguncang kerusuhan hebat. Gelombang protes yang meledak setelah pemerintah melarang penggunaan platform media sosial besar seperti Facebook, X, dan YouTube, berubah menjadi aksi berdarah.
Setidaknya 22 orang tewas sejak aparat keamanan melepaskan tembakan ke arah demonstran pada Senin, 8 September 2025 lalu.
Situasi kian memanas pada Selasa, ketika massa di Kathmandu membakar Gedung Mahkamah Agung serta sejumlah rumah anggota parlemen. Aksi itu dipicu akumulasi kemarahan bertahun-tahun atas korupsi merajalela dan ketidakadilan ekonomi yang menghantui negeri berpenduduk 30 juta jiwa itu.
Nepal sejatinya baru meninggalkan sistem monarki pada 2008, setelah hampir 250 tahun berada di bawah kekuasaan kerajaan Hindu. Upaya pertama memperkenalkan sistem politik demokratis dimulai pada 1951, ketika raja membentuk kabinet dan membuka ruang bagi partai politik.
Namun, konstitusi yang disahkan pada 1959 segera dibatalkan oleh monarki berikutnya. Selama setengah abad setelah itu, Nepal terombang-ambing antara otoritarianisme dan monarki konstitusional.
Rentetan konflik semakin dalam saat perang saudara pecah pada 1996 hingga 2006. Pertempuran antara pemerintah monarki dan pemberontak Maois berlangsung satu dekade dan menewaskan lebih dari 17.000 orang. Pada 2007, pemerintah akhirnya menyetujui penghapusan monarki, yang secara resmi dihapuskan setahun kemudian ketika Nepal mendeklarasikan diri sebagai republik demokratis.
Baca Juga: Guterres Minta Penyelidikan atas Aksi Protes Mematikan di Nepal
Namun, perjalanan demokrasi tidak berjalan mulus. Dengan lebih dari 100 kelompok etnis, puluhan kasta, serta bahasa yang beragam, membangun konsensus politik menjadi pekerjaan yang sulit.
Sejak 2008, Nepal terus berganti pemimpin dalam siklus ketidakpastian politik yang berkepanjangan. Korupsi dalam pemerintahan juga semakin parah, dengan praktik suap dan pemerasan di berbagai lini.
Salah satu tokoh paling dominan, K.P. Sharma Oli dari Partai Komunis Nepal (Marxis-Leninis Bersatu), pertama kali menjabat sebagai perdana menteri pada 2015. Pada 2024, ia kembali naik ke kursi perdana menteri setelah mencapai kesepakatan dengan Partai Kongres Nepal untuk berbagi kekuasaan secara bergiliran hingga 2027. Namun, kesepakatan itu berantakan lebih cepat dari perkiraan.
Oli resmi mengundurkan diri pada Selasa, 9 September 2025, menyisakan kekosongan kepemimpinan di tengah situasi negara yang kian kacau. Hingga kini, belum jelas siapa yang akan menggantikannya atau apakah ada pihak yang benar-benar memegang kendali pemerintahan.
Krisis terbaru ini menunjukkan betapa rapuhnya demokrasi di Nepal, yang masih dibayang-bayangi sejarah panjang monarki, konflik bersenjata, dan ketidakstabilan politik.