Ntvnews.id, Jakarta - Rektor Universitas Paramadina Prof. Didik J Rachbini mengusulkan skema baru pemilihan kepala daerah yang ia sebut sebagai “Pilkada Jalan Tengah”, yakni model pemilihan dengan metode campuran antara mekanisme elektoral dan institusional. Skema ini dinilai sebagai inovasi untuk menjaga kedaulatan rakyat sekaligus menekan praktik politik uang yang selama ini mencemari pilkada langsung.
Menurut Prof. Didik, tahap pertama dalam pilkada jalan tengah tetap melibatkan rakyat secara langsung melalui pemilihan legislatif. Dalam mekanisme ini, tiga calon anggota DPRD dengan perolehan suara tertinggi di suatu daerah secara otomatis menjadi kandidat kepala daerah, baik gubernur, bupati, maupun wali kota. Tahap kedua dilakukan setelah DPRD terbentuk, di mana lembaga perwakilan tersebut memilih satu dari tiga kandidat sebagai kepala daerah.
Ia menegaskan, metode campuran ini tidak menghilangkan unsur kedaulatan rakyat karena legitimasi elektoral tetap berasal dari suara pemilih dalam pileg.
“Rakyat tetap menentukan melalui suara terbanyak di pileg. Kandidat kepala daerah punya legitimasi elektoral nyata, bukan hasil lobi elite semata,” kata Prof. Didik dalam keterangannya, Senin, 29 Desember 2025.
Karena itu, ia menilai skema ini bukan kemunduran ke pilkada tertutup ala Orde Baru, melainkan bentuk demokrasi berlapis atau two-step legitimacy untuk menghindari pemilihan langsung yang kerap tercemar politik uang.
Baca Juga: MPR: Usulan Pilkada Dipilih oleh DPRD Layak Dikaji
Selain menjaga legitimasi, pilkada jalan tengah juga dinilai mampu menekan biaya politik yang selama ini sangat mahal dalam pilkada langsung. Prof. Didik menyoroti bahwa biaya kampanye tinggi memicu praktik ilegal seperti politik uang dan persaingan tidak sehat.
“Yang terjadi adalah pelacuran politik, di mana yang memiliki uang dapat membeli suara, lalu setelah terpilih harus mengembalikan modal kampanye dengan cara korupsi,” ujarnya.
Ia menjelaskan, dalam sistem pilkada langsung, kandidat sering kali bergantung pada cukong atau pemodal besar. Ketergantungan ini kemudian melahirkan insentif “balik modal” setelah menjabat.
Sebaliknya, dalam pilkada jalan tengah, tidak ada kampanye pilkada langsung yang sarat politik uang karena kandidat sudah tersaring melalui pileg. Efeknya, insentif korupsi pasca-terpilih dapat ditekan.
Namun demikian, Prof. Didik juga mengakui metode ini memiliki kelemahan serius. Risiko utama terletak pada potensi transaksi politik di DPRD pada tahap kedua pemilihan. Ia menyebut adanya kemungkinan lobi tertutup, barter jabatan, hingga politik fraksi yang menyimpang.
“Risiko oligarki dan peran cukong tetap ada, hanya berpindah arena dari kampanye ke parlemen,” katanya.
Karena itu, kualitas DPRD menjadi faktor penentu keberhasilan sistem ini. Dua hal yang sangat menentukan adalah integritas anggota DPRD dan transparansi proses pemilihan. Jika aturan lemah dan DPRD korup, menurut Prof. Didik, sistem apa pun tidak akan bermakna dan justru bisa mengulang kembali pilkada langsung yang sarat politik uang di lapangan.
Baca Juga: Gerindra Dukung Pilkada Dipilih DPRD
Untuk meminimalkan risiko tersebut, ia mengusulkan aturan ketat dalam pemilihan kepala daerah oleh DPRD, bahkan dianalogikan seperti pemilihan Paus. Anggota DPRD yang memiliki hak suara harus dikendalikan dengan berbagai mekanisme pengawasan guna mencegah suap. Mulai dari kewajiban pemasangan CCTV, pengumpulan anggota DPRD selama beberapa hari di kantor atau hotel, hingga pengawasan ketat oleh KPK dan aparat penegak hukum lainnya.
“Dengan mengontrol pemilik suara yang jumlahnya hanya sekitar 50 sampai 100 orang anggota DPRD, potensi politik uang dan korupsi setelah terpilih bisa diturunkan,” ujarnya.
Lebih jauh, Prof. Didik menekankan pentingnya pengaturan tegas dalam undang-undang agar tahap pemilihan di DPRD berjalan kredibel. Ia mengusulkan pemungutan suara DPRD dilakukan secara terbuka dan disiarkan ke publik, larangan keras terhadap transaksi politik, uji publik dan penelusuran rekam jejak tiga kandidat, serta sanksi pidana berat bagi pelaku suap.
Selain itu, kehadiran saksi dari KPK, kejaksaan, kampus, dan elemen masyarakat sipil juga dinilai krusial.
Dalam perbandingannya, Prof. Didik menilai pilkada langsung memang memiliki partisipasi rakyat yang tinggi, tetapi dibarengi biaya politik sangat mahal dan tingkat politik uang yang tinggi. Sementara itu, metode campuran memiliki partisipasi menengah, biaya politik lebih rendah, dan risiko politik uang yang lebih terkendali, meski peran DPRD menjadi lebih dominan dan risiko oligarki bergeser ke parlemen.
Ia menyimpulkan, pilkada jalan tengah menawarkan kualitas seleksi yang tidak semata berbasis popularitas, tetapi juga mempertimbangkan proses institusional. Dengan prasyarat aturan yang ketat dan pengawasan kuat, metode ini dinilai dapat menjadi alternatif realistis untuk memperbaiki kualitas demokrasi lokal di Indonesia.
Prof Didik J Rachbini (Instagram)