Ntvnews.id, Jakarta - Kalangan pelaku usaha menyampaikan kekhawatiran terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan, yang dianggap berpotensi menekan sektor-sektor padat karya seperti industri hasil tembakau serta makanan dan minuman (mamin). Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia meminta pemerintah untuk mempertimbangkan deregulasi terhadap sejumlah ketentuan dalam aturan tersebut.
Aturan baru ini dinilai membebani dunia usaha, terutama terkait ketentuan zonasi penjualan dan iklan rokok, serta pengaturan kadar garam, gula, dan lemak (GGL). Menurut KADIN, kebijakan-kebijakan ini bisa berdampak pada kelangsungan industri dan lapangan kerja.
Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia Bidang Perindustrian, Saleh Husin, menilai peraturan yang disusun tanpa perhitungan matang justru bisa merugikan sektor industri
“Sudah banyak contoh yang kita lihat belakangan ini, mulai dari tekstil hingga industri media. Saya sangat setuju dengan teman-teman serikat pekerja, bahwa di tengah gelombang ketidakpastian ekonomi ini, pemerintah tidak perlu tergesa-gesa dalam mengeluarkan sebuah kebijakan,” ujar Saleh dalam keterangannya, Jumat, 9 Mei 2025.
Baca Juga: Hasto Bantah Punya HP dengan Nomor Bernama Sri Rejeki Hastomo
Ia menambahkan bahwa sektor industri hasil tembakau dan mamin masih berupaya bertahan di tengah tekanan ekonomi, dan kebijakan yang terlalu ketat justru dapat memperburuk situasi. Saleh menilai, pendekatan seperti ini bisa memicu peningkatan peredaran produk ilegal.
Menurutnya, beberapa pasal dalam PP 28/2024 justru dapat mengancam kelangsungan industri dan memperluas pasar gelap.
“Apalagi dengan semakin diketatkannya peraturan, maka semakin menjamur pastinya produk ilegal,” imbuhnya.
Saleh mengacu pada data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) yang mencatat rokok ilegal sudah mencapai 6,9 persen pada 2023, bahkan sebelum PP ini diterapkan.
Baca Juga: Kejagung Periksa Istri Tom Lembong Terkait Perintangan Penyidikan
Lebih lanjut, Saleh mengkritisi proses penyusunan kebijakan tersebut yang dinilainya tidak melibatkan cukup banyak pelaku industri. Ia mengatakan bahwa masukan dari kementerian yang membina sektor industri juga kurang diakomodasi.
“Oleh karenanya terdapat banyak pasal yang problematik dan justru dapat mematikan industri itu sendiri,” jelasnya.
Saleh menyatakan bahwa KADIN terus berupaya menjadi penghubung antara pelaku usaha dan pemerintah untuk menemukan solusi bersama. Ia mengatakan, penolakan terhadap PP ini juga muncul dari berbagai sektor, mulai dari industri iklan, retail, petani, hingga tenaga kerja dan pedagang kecil.
"Seharusnya pemerintah membuka wadah untuk berdiskusi dengan pelaku industri dan mencari jalan tengah. Kami sebagai KADIN juga akan membantu menjembatani industri dengan pemerintah terkait hal ini,” tutur Saleh.
Baca Juga: Viral Diduga Curhatan Karyawan Ruben Onsu Ngeluh Soal Gaji dan THR yang Tak Dibayarkan
Ia juga menekankan pentingnya menjaga sektor padat karya agar bisa membantu mengurangi pengangguran, terutama saat kondisi ekonomi melambat. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mencapai 4,87 persen pada kuartal I 2025, lebih rendah dari target 5 persen dan masih jauh dari ambisi pemerintah yang ingin menembus angka 8 persen.
Menurut Saleh, selain menarik investasi asing, penting juga untuk menjaga dan mengembangkan investasi yang sudah ada.
“Industri hasil tembakau ini merupakan salah satu industri yang harus dipertahankan oleh pemerintah, berhubung industri ini memiliki tenaga kerja dari hulu hingga hilir yang mencapai 6 juta orang,” tutupnya.