Ntvnews.id, Jakarta - Rencana Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk kembali menggulirkan kebijakan standardisasi kemasan rokok memunculkan perdebatan baru di tengah masyarakat dan kalangan pelaku industri. Wacana ini dinilai dapat berdampak besar terhadap keberlangsungan industri tembakau nasional sekaligus dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Isu ini kembali mencuat setelah pernyataan Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, yang menyatakan bahwa rencana pemerintah bukan menerapkan kemasan polos sepenuhnya, melainkan kemasan yang telah distandarkan.
“Jadi, mungkin yang kita pahami ya bahwa memang ada awalnya wacana untuk penerapan kemasan rokok yang polos ya. Tapi kalau kita kembali merujuk kepada PP 28 Tahun 2024 itu sebenarnya yang diharapkan itu adalah kemasan yang standar ya,” kata Siti Nadia dalam salah satu program.
Ia menjelaskan bahwa kebijakan ini masih dalam tahap penyusunan dan akan melibatkan diskusi publik serta proses harmonisasi.
Baca Juga: Singapura Tolak Permohonan Paulus Tannos, KPK Pantau Langkah Lanjutan
“Tapi perlu diingat juga ada kewenangan pemerintah dalam memberikan perlindungan kesehatan kepada masyarakat,” ujarnya menambahkan.
Dari sudut pandang industri rokok sendiri, rencana ini menuai banyak pertanyaan. Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), Benny Wachjudi, mempertanyakan dasar hukum Kemenkes dalam mengatur desain kemasan, terutama di luar aspek peringatan kesehatan.
Menurut Benny, pelaku industri sempat menerima draf awal kebijakan yang mengarah pada kemasan polos, meski draf terbaru dengan rincian standardisasi belum sampai ke tangan mereka. Ia menyatakan bahwa pengaturan terhadap elemen visual pada kemasan tetap merupakan pelanggaran terhadap hak kekayaan intelektual, bahkan jika yang diatur hanyalah warna.
“Karena di dalam kemasan itu kan ada terkandung desain ataupun hak cipta. Warna itu kan hak cipta,” ujar Benny dalam keterangannya, Selasa, 17 Juni 2025.
Benny juga merujuk pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, yang menyebutkan bahwa merek bisa diekspresikan secara grafis, mencakup gambar, logo, nama, huruf, angka, hingga kombinasi warna. Menurutnya, standardisasi kemasan berisiko menghapus identitas visual merek yang diakui secara hukum.
Ia memperingatkan bahwa rokok masih merupakan produk legal yang secara sah boleh diproduksi, dipromosikan, dan dijual. Jika desain kemasan diseragamkan, maka konsumen akan kesulitan membedakan satu merek dengan yang lain meskipun nama merek tetap dicantumkan dalam ukuran kecil.
Lebih jauh lagi, Benny menolak argumentasi yang membandingkan Indonesia dengan negara-negara lain yang telah lebih dulu menerapkan kebijakan serupa.
“Kalau kita bandingkan Indonesia dengan Malaysia dan Singapura, jauh berbeda. Kita punya kebun tembakau, kita punya kebun cengkeh, kita punya industri yang banyak,” ungkapnya.
Ia menggarisbawahi bahwa industri tembakau di Indonesia merupakan ekosistem besar yang terintegrasi dari hulu ke hilir dan menyerap jutaan tenaga kerja. Oleh karena itu, kebijakan standardisasi kemasan ini dikhawatirkan tidak hanya akan mengancam kelangsungan usaha, tetapi juga bertentangan dengan semangat perlindungan terhadap industri nasional serta kedaulatan ekonomi negara.