Ntvnews.id, Jakarta - Kejaksaan Agung (Kejagung) resmi menetapkan Iwan Setiawan Lukminto, Komisaris Utama PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), sebagai tersangka kasus dugaan korupsi terkait pemberian fasilitas kredit bank senilai triliunan rupiah.
Iwan ditangkap di kediamannya di Solo, Jawa Tengah, pada Selasa malam, 20 Mei 2025, lalu langsung dibawa ke Jakarta untuk menjalani pemeriksaan intensif. Penangkapan ini merupakan bagian dari penyidikan kasus yang melibatkan dana pinjaman dari sejumlah bank milik negara dan daerah kepada Sritex.
Dugaan penyalahgunaan dana kredit tersebut menyeret nama Iwan, yang sebelumnya menjabat sebagai Direktur Utama Sritex selama hampir satu dekade sebelum diangkat menjadi Komisaris Utama pada 21 Mei 2025, tepat di hari penetapan tersangkanya.
Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar, mengungkap bahwa nilai kredit yang menjadi fokus penyidikan mencapai Rp 3,58 triliun. Dana tersebut berasal dari empat bank berbeda yang kini tengah diperiksa penyidik karena diduga melanggar prosedur dalam pemberian kredit kepada Sritex.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Abdul Qohar, memaparkan bahwa pada Oktober 2024, total tagihan kredit yang belum dilunasi oleh Sritex telah mencapai angka fantastis: Rp 3.588.650.808.285,57. Penyidik menemukan cukup bukti bahwa dalam proses pemberian fasilitas kredit itu terjadi tindak pidana korupsi.
Kredit Tak Digunakan Sesuai Tujuan
Salah satu temuan penting dalam kasus ini adalah dugaan bahwa dana kredit yang seharusnya digunakan untuk modal kerja, malah dipakai untuk keperluan lain yang tak sesuai peruntukan. Penyidik menyebut dana tersebut disalahgunakan oleh Iwan saat masih menjabat sebagai Direktur Utama.
“Terdapat fakta hukum bahwa dana tersebut tidak digunakan sebagaimana tujuan dari pemberian kredit yaitu untuk modal kerja, tetapi disalahgunakan untuk membayar utang dan membeli aset non-produktif,” kata Abdul Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejagung, Rabu, 21 Mei 2025.
Kejagung juga menyoroti keterlibatan dua bank daerah, yakni Bank DKI Jakarta dan Bank Pembangunan Jawa Barat dan Banten (Bank BJB). Pemberian kredit dari dua lembaga tersebut dinilai melanggar ketentuan karena tidak melalui analisis risiko yang memadai dan tidak mematuhi prosedur perbankan yang berlaku.
“ZM selaku Direktur Utama Bank DKI dan DS selaku Pimpinan Divisi Korporasi sekaligus Komisaris Komersial Bank BJB telah memberikan kredit secara melawan hukum,” ujar Qohar. Keduanya diduga mengabaikan prinsip kehati-hatian dalam penyaluran kredit, membuka celah terjadinya penyelewengan.