Ramai Pemimpin Dunia Soal Aturan Batasi Tambang Dasar Laut

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 12 Jun 2025, 05:15
thumbnail-author
Deddy Setiawan
Penulis
thumbnail-author
Tasya Paramitha
Editor
Bagikan
Ilustrasi Tambang Ilustrasi Tambang (Pixabay)

Ntvnews.id, Paris - Kekhawatiran terhadap kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang dianggap bisa mendorong aktivitas penambangan laut dalam, membayangi pembukaan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Samudra yang digelar di Prancis pada Senin, 9 Juni 2025.

Dilansir dari DW, Kamis, 12 Juni 2025, Presiden Prancis Emmanuel Macron dalam pidato pembukaannya menyatakan, “Melakukan eksploitasi laut dalam secara sembrono, merusak keanekaragaman hayati dan melepaskan cadangan karbon tanpa pemahaman yang memadai adalah tindakan yang gila.”

Ia menekankan bahwa moratorium terhadap praktik penambangan laut dalam sudah menjadi "kebutuhan global".

Menurut catatan Deep Sea Conservation Coalition, sebuah LSM yang fokus pada perlindungan laut dalam, jumlah negara yang menyuarakan penolakan terhadap aktivitas ini kini telah mencapai 36.

Baca Juga: PT IMC Bantah Kapal JKW Mahakam dan Dewi Iriana Berafiliasi dalam Aktivitas Pertambangan

Walaupun Donald Trump tidak hadir di antara sekitar 60 kepala negara dan pemerintahan yang berkumpul di kota Nice, kebijakannya tetap menjadi sorotan. Hal ini terkait sikapnya yang menolak bekerja sama dengan Otoritas Dasar Laut Internasional (ISA) dan malah memberikan izin langsung kepada perusahaan untuk menambang di perairan internasional, di luar yurisdiksi AS.

Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva turut mengecam fenomena tersebut dan meminta ISA untuk bertindak tegas demi menghentikan "perlombaan predator" mencari mineral laut dalam.

“Kini kita menghadapi ancaman unilateralisme di lautan. Kita tidak boleh membiarkan apa yang terjadi dalam sistem perdagangan dunia terulang di laut,” ujar Lula.

Pernyataan tersebut kemudian ditegaskan oleh Macron: “Laut dalam, Greenland, dan Antartika bukanlah barang dagangan.”

Guterres: Laut Tak Boleh Jadi Wilayah Tak Bertuan

ISA, badan di bawah Konvensi Hukum Laut Internasional yang berwenang atas wilayah laut internasional, dijadwalkan menggelar pertemuan pada Juli untuk membahas pedoman pertambangan laut dalam secara global.

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menekankan pentingnya kehati-hatian dalam menjajaki sektor baru ini. Dalam pembukaan Konferensi Kelautan PBB ketiga di Nice, ia menyatakan, “Laut dalam tidak boleh dibiarkan menjadi wilayah tanpa pemilik.” Pernyataan ini disambut tepuk tangan dari para peserta.

Guterres juga memperingatkan bahwa praktik penangkapan ikan ilegal, pencemaran plastik, serta peningkatan suhu laut kini menjadi ancaman serius terhadap ekosistem dan komunitas pesisir yang bergantung pada laut.

Baca Juga: Pakar Sebut Keputusan Pemerintah Mencabut 4 IUP Tambang di Raja Ampat Sudah Tepat!

“Lautan adalah sumber daya bersama yang sangat penting, tetapi kita telah gagal menjaganya,” ujarnya.

Ia merujuk pada berbagai krisis seperti penurunan populasi ikan, kenaikan permukaan laut, dan pengasaman air laut yang semakin intensif.

Selain itu, lautan berperan sebagai penyerap emisi gas rumah kaca sekitar 30% dari total emisi namun proses ini turut memanaskan air laut, yang pada akhirnya mengancam fungsinya sebagai penyeimbang iklim.

“Kondisi ini menunjukkan krisis sistemik, yang menyebabkan kehancuran ekosistem, rantai makanan, hingga mata pencaharian masyarakat pesisir,” lanjut Guterres.

Dukungan Global terhadap Regulasi Laut Lepas

Perjanjian Laut Lepas yang disepakati pada 2023 memberikan kesempatan bagi negara-negara untuk membentuk kawasan konservasi di wilayah perairan internasional, yang mencakup hampir dua pertiga permukaan laut dan selama ini belum memiliki perlindungan hukum yang memadai. Namun, hingga kini baru sekitar 1% dari kawasan ini yang berstatus terlindungi.

Sebagian besar dari 36 negara yang menolak eksploitasi laut dalam berasal dari kawasan Pasifik, Amerika Selatan, serta Eropa. Para ilmuwan mengingatkan bahwa penambangan di dasar laut bisa menimbulkan kerusakan besar terhadap ekosistem yang masih belum sepenuhnya dipahami oleh manusia.

Baca Juga: Bahlil: Izin Tambang Raja Ampat Sudah Terbit Jauh Sebelum Era Jokowi

Megan Randles dari Greenpeace menyebut bahwa kekhawatiran atas aktivitas industri ekstraktif di laut dalam semakin meluas.

“Ancaman penambangan laut dalam yang nyata dan kebijakan industri yang sembrono kini dianggap tidak bisa diterima oleh banyak negara di sini, di Nice,” ujarnya.

Menjelang penutupan konferensi, para pemimpin dunia berhasil menyepakati komitmen untuk melindungi 60% lautan global yang berada di luar wilayah yurisdiksi nasional.

Presiden Macron mengonfirmasi bahwa sejauh ini, 55 negara telah meratifikasi Perjanjian Laut Lepas—hanya kurang lima dari jumlah minimum agar perjanjian dapat diberlakukan. Ia tampak antusias, menunjukkan dua jempol saat berpose bersama delegasi negara-negara baru yang turut meratifikasi.

Macron menyatakan bahwa perjanjian ini akan efektif mulai 1 Januari 2026.

PBB juga melaporkan bahwa pada hari Senin itu, 18 negara tambahan menandatangani perjanjian, sehingga total menjadi 50 negara. Beberapa negara lainnya dikabarkan akan segera menyusul.

“Peningkatan jumlah negara yang meratifikasi Perjanjian Laut Lepas menjadi sinyal positif dan alasan besar untuk optimisme,” ujar Rebecca Hubbard, Direktur Aliansi Laut Lepas, kepada AFP.

x|close