Ntvnews.id, Jakarta - Momen penuh haru terjadi dalam keluarga besar Luhut Binsar Pandjaitan saat sang cucu, Faye Simanjuntak, resmi menyelesaikan pendidikan dari salah satu universitas terbaik dunia. Di balik kebanggaan itu, tersimpan kisah panjang tentang sosok Faye yang sejak kecil sudah menunjukkan kepekaan sosial luar biasa, jauh melampaui usianya.
Luhut, dalam sebuah ungkapan penuh emosi, mengenang awal mula ia melihat benih karakter kuat Faye muncul. Tahun 2010, saat Gunung Merapi meletus dahsyat, Faye, yang baru berusia 8 tahun menggalang dana bersama teman-temannya untuk membantu panti asuhan terdampak erupsi. Ketika masih kurang Rp4 juta, Faye datang kepada sang Opung untuk meminta bantuan.
“Tanpa pikir panjang, saya menyanggupinya. Dalam hati saya bertanya-tanya, bagaimana mungkin anak usia 8 tahun sudah memiliki kepekaan sosial sedalam itu,” ujar Luhut di Instagram pribadinya.
Faye tumbuh dalam keluarga militer. Ayahnya, Maruli Simanjuntak, adalah seorang perwira tinggi. Ibunya dikenal sangat peduli pada pendidikan. Karena tugas orang tuanya yang berpindah-pindah, Faye terbiasa adaptif dan tangguh sejak kecil. Ia dikenal bukan hanya cerdas di bidang akademik, tetapi juga memiliki empati mendalam.
Di usia 9 tahun, sebuah tugas sekolah membawanya pada isu perdagangan anak. Ia terkejut saat mendapati Indonesia termasuk negara dengan kerentanan tinggi terhadap kejahatan ini. Di usia 11 tahun, Faye menyatakan keinginan untuk membentuk yayasan sendiri: Rumah Faye.
“Saya hanya bisa terdiam mendengarnya, terpukau pada kedalaman pikiran seorang anak seusia itu,” kenang Luhut.
Kini, Rumah Faye telah menjadi rumah aman bagi lebih dari 190 anak korban kekerasan seksual. Faye juga telah berbicara di berbagai forum internasional, termasuk markas besar PBB dan bertemu tokoh-tokoh dunia.
Namun, di balik kedekatan mereka, Faye dan Luhut kerap berbeda pandangan. Suatu waktu, setelah diskusi serius tentang isu lingkungan, Faye menegur sang Opung:
“Opung, jangan pernah membuat kebijakan yang bisa merusak masa depan generasi saya.”
Kalimat itu, menurut Luhut, menampar kesadarannya dan menjadi titik balik dalam banyak keputusannya sebagai pejabat publik.
Meski dibesarkan dalam keluarga penuh privilege, Faye menolak kenyamanan itu mempengaruhi jalannya. Ia ingin semua pencapaiannya lahir dari kerja keras, bukan dari nama besar kakek atau ayahnya. Bahkan ketika dicalonkan untuk penghargaan dari Vatikan, ia berkata:
“Opung, tolong, jangan bicara dengan Vatikan atau siapa pun. Aku ingin mendapatkannya sendiri,” ujarnya menirukan Faye.
Puncaknya, Faye lolos sebagai salah satu dari segelintir peserta program beasiswa prestisius Schwarzman Scholars di Tsinghua University, Tiongkok. Ia mendaftar diam-diam, tak meminta surat rekomendasi dari satu pun anggota keluarga, dan seluruh prosesnya dilakukan mandiri.
Ia diterima dari ribuan pelamar internasional, hanya sekitar 3-5% yang lolos setiap tahunnya. Kini, saat namanya dipanggil di panggung wisuda, air mata Luhut tak terbendung.
“Cucu kebanggaan saya berhasil lulus dari salah satu dari 12 kampus terbaik di dunia,” ucapnya dengan haru.
“Sejauh apapun engkau melangkah, dan di forum mana pun engkau berbicara, jangan pernah lupa bahwa negeri ini adalah tanah kelahiranmu. Jangan pernah merasa terlalu besar untuk bangsa ini, tapi juga jangan merasa terlalu kecil untuk memberi dampak,” pesannya.