Ntvnews.id, Jakarta - Nama George Soros kerap muncul dalam berbagai perbincangan global, baik dalam dunia keuangan, politik, maupun teori konspirasi. Sosoknya bahkan disebut dalam pernyataan mantan Kepala BIN, Jenderal (Purn) AM Hendropriyono.
Ia menyinggung adanya pengaruh pihak luar dalam dinamika politik Indonesia. Menurut Hendro, terdapat kekuatan non-state actor yang memiliki dampak besar terhadap kebijakan suatu negara.
“Kebijakannya itu langkah-langkahnya kita baca selalu pas dengan usulan dari non-state. Non-state tapi isinya George Soros, isinya George Tenet, isinya tadi saya sampaikan David Rockefeller, Bloomberg. Baca sendirilah, kaum kapitalis begitu. Itu yang usul,” ujarnya.
Latar Belakang dan Kehidupan Awal
George Soros lahir di Budapest, Hungaria, pada 12 Agustus 1930 dengan nama asli György Schwartz. Masa kecilnya berlangsung di tengah kekejaman Perang Dunia II. Berasal dari keluarga Yahudi, ia menyaksikan bagaimana lebih dari 500.000 orang Yahudi Hungaria menjadi korban pembantaian Nazi pada 1944–1945.
Keluarganya berhasil bertahan hidup dengan cara menyembunyikan identitas asli menggunakan dokumen palsu, bahkan turut membantu orang lain melakukan hal serupa. Soros mengenang masa itu dengan berkata, “Alih-alih menyerah pada nasib, kami melawan kekuatan jahat yang jauh lebih kuat daripada kami, namun kami menang. Kami tidak hanya bertahan hidup, tetapi juga berhasil membantu orang lain.”
Setelah perang berakhir, Hungaria berada di bawah rezim komunis. Pada 1947, Soros memilih meninggalkan Budapest menuju London. Ia kuliah di London School of Economics sambil bekerja serabutan, mulai dari kuli di stasiun kereta hingga pelayan klub malam.
Tahun 1956 menjadi titik balik ketika ia pindah ke Amerika Serikat. Kariernya di dunia finansial menanjak cepat hingga pada 1970 ia mendirikan Soros Fund Management, yang kemudian berkembang menjadi salah satu hedge fund tersukses di dunia. Dari situ pula lahir Quantum Fund, yang mengukuhkan namanya sebagai investor kawakan.
Popularitas Soros mencapai puncaknya pada September 1992. Melalui Quantum Fund, ia melakukan spekulasi besar dengan menjual miliaran pound sterling secara masif. Ketika nilai mata uang Inggris jatuh, ia membelinya kembali dan meraup keuntungan sekitar 1 miliar dolar AS. Aksi ini membuatnya dijuluki “orang yang menghancurkan Bank of England.”
Meski demikian, tidak semua langkah spekulasinya berhasil. Pada 1994, ia mengalami kerugian besar akibat salah prediksi terhadap pergerakan yen Jepang. Bahkan dalam satu hari, dana kelolaannya sempat anjlok ratusan juta dolar.
Berbagai Tuduhan
Nama Soros kembali menjadi sorotan saat krisis finansial Asia 1997. Perdana Menteri Malaysia saat itu, Mahathir Mohamad, menudingnya sebagai biang kerok kejatuhan ringgit. Namun, catatan menunjukkan dana Soros justru ikut menanggung kerugian miliaran dolar dalam krisis tersebut.
Ia sempat bangkit melalui keuntungan dari saham internet pada 1999, walaupun kemudian lebih berhati-hati setelah pecahnya gelembung teknologi pada 2000.
Pada 2002, Soros tersangkut masalah hukum di Prancis. Ia dijatuhi denda 2,2 juta euro (sekitar 2,9 juta dolar AS) karena kasus insider trading terkait saham Société Générale pada 1988. Upaya bandingnya pada 2006 ditolak, sehingga ia tetap harus menjalani putusan tersebut.
Beberapa tahun setelahnya, Soros memutuskan bahwa Quantum Fund tidak lagi mengelola dana pihak luar dan hanya fokus pada aset pribadi serta keluarganya.
Di balik kiprahnya di dunia finansial, Soros juga dikenal luas sebagai filantropis melalui jaringan yayasan Open Society Foundations yang mendanai berbagai program demokrasi, pendidikan, hingga kebebasan pers di berbagai negara. Namun, langkah-langkahnya sering memicu tudingan sebagai penggerak agenda politik tersembunyi.
Bahkan, Presiden AS Donald Trump sempat menuding Soros sebagai dalang kerusuhan di negaranya. Trump mengancam akan memenjarakannya dengan menggunakan Undang-Undang Racketeer Influenced and Corrupt Organizations (RICO), aturan hukum yang biasa dipakai untuk menjerat jaringan kejahatan terorganisir.