Restorasi Dinilai Lebih Tepat untuk Polri

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 17 Sep 2025, 09:34
thumbnail-author
Moh. Rizky
Penulis
thumbnail-author
Beno Junianto
Editor
Bagikan
Demonstran dan Polisi Bentrok di Pejompongan Demonstran dan Polisi Bentrok di Pejompongan (Dok. NTVNews.id)

Ntvnews.id, Jakarta - Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI), R Haidar Alwi menilai, reformasi Polri sejatinya telah mencapai titik sejarah dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 yang menempatkan Polri langsung di bawah presiden.

Menurutnya, hal itu adalah fondasi besar yang memutus rantai subordinasi militer dan menegakkan prinsip independensi.

"Inilah mengapa istilah restorasi jauh lebih tepat. Restorasi berarti mengembalikan Polri pada jati diri yang sesungguhnya: aparat negara yang berani, bersih, dan humanis," ujar Haidar Alwi, Rabu, 17 September 2025.

"Restorasi berarti merenovasi tanpa menggoyahkan pilar. Memperbaiki kelemahan tanpa meruntuhkan struktur, dan menegakkan kembali nilai-nilai luhur yang dulu menjadi alasan mengapa reformasi digelorakan," imbuhnya.

Ia melihat, setiap kali ada kejadian yang melibatkan oknum anggota Polri, seruan “reformasi Polri” selalu muncul.

Pada tahun 2011 misalnya, wacana reformasi Polri mengemuka setelah kasus Mesuji Lampung, Sumsel dan Bima NTB. Lalu, timbul lagi tahun 2015 seiring isu dugaan kriminalisasi terhadap pimpinan KPK. Kemudian tahun 2022 kembali disuarakan setelah kasus Ferdy Sambo.

Berikutnya tahun 2024 pasca polemik penguntitan Jampidsus Kejagung oleh oknum Densus 88 serta tuduhan partai tertentu yang mengkambinghitamkan Polri atas kekalahan kandidatnya dalam pemilu.

Terakhir, baru-baru ini reformasi Polri dan pergantian Kapolri disuarakan menyusul tewasnya seorang pengemudi ojek online (ojol) dalam kerusuhan Agustus 2025.

Baca Juga: Geruduk Gedung DPR, Massa Tuntut Restoratif Polri

"Jika dicermati, polanya berulang dan mudah ditebak. Satu kasus individu dijadikan pintu masuk untuk menggoreng isu kelembagaan. Satu pelanggaran segera dibesar-besarkan menjadi kegagalan sistem. Seolah-olah Polri secara keseluruhan gagal. Seolah-olah seluruh reformasi yang telah dilakukan sejak 1999 tidak pernah ada," papar Haidar Alwi.

Baca Juga: Istana Tegaskan Tidak Ada Surpres Pergantian Kapolri ke DPR

Ketika setiap masalah operasional atau moral oknum dijawab dengan tuntutan reformasi kelembagaan, kata dia sesungguhnya yang terjadi adalah pengaburan persoalan.

Narasi yang diulang-ulang ini membentuk persepsi seolah Polri adalah sistem yang cacat. Padahal, kata Haidar Alwi yang terjadi hanyalah upaya sistematis untuk menggerus kepercayaan publik sekaligus menguji keteguhan negara.

Menurutnya, bahaya dari pola ini tidak bisa dihilangkan. Bila negara menuruti tuntutan tersebut setiap kali ada kejadian, sama saja negara rela pergi ke meja lelang dan menggadaikan kewibawaannya.

"Bagaimana mungkin sebuah bangsa besar membiarkan dirinya dikendalikan oleh riak-riak opini yang selalu dipicu kejadian individu?," kata dia.

"Negara tidak boleh terjebak dalam siklus kelemahan ini, di mana setiap persoalan kecil langsung dijawab dengan wacana besar yang mempreteli institusi penopang keamanan nasional. Itu bukan jalan menuju perbaikan, melainkan jalan menuju delegitimasi," imbuh Haidar Alwi.

"Sudah saatnya kita bertanya pada hati nurani: apakah kita akan maju dengan memperkuat apa yang sudah benar, atau justru mundur dengan mengulangi kesalahan yang sama," tandasnya.

x|close