Ntvnews.id, Jakarta - Komisi XIII DPR RI menggelar rapat dengar pendapat umum bersama forum masyarakat, mahasiswa, serta perwakilan desa dari Riau terkait laporan dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam penataan kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) di Kabupaten Pelalawan.
Juru bicara Forum Masyarakat Korban Tata Kelola Hutan-Pertanahan di Riau, Abdul Azis, dalam rapat di Jakarta, Senin, menuturkan bahwa akar persoalan berawal dari SK 173/1986 mengenai penunjukan kawasan hutan di Riau.
Ia mengungkapkan adanya kelalaian oknum pemerintah dalam penataan batas hutan, yang menyebabkan ribuan desa diklaim masuk ke kawasan hutan tanpa kepastian hukum.
"Sejak 1986 hingga kini kawasan hutan hanya ditunjuk tetapi tidak pernah dikukuhkan sesuai Pasal 14 Undang-Undang Kehutanan. Akibatnya masyarakat dituding sebagai perambah atau penduduk ilegal di tanah yang sudah dihuni jauh sebelum TNTN ditetapkan," ujar Abdul Azis.
Menurutnya, penunjukan kawasan hutan TNTN pada 2004 dan 2009 yang mencakup lebih dari 80 ribu hektare tidak didahului dengan penetapan batas, bahkan kawasan itu sudah pernah dikelola perusahaan sejak 1970-an.
"Kalau ditelusuri, justru ada 153 ribu hektare hutan yang diberikan izin tebang ke 13 perusahaan dengan nilai kayu mencapai lebih dari Rp7 triliun. Namun, masyarakat kecil yang justru ditekan," katanya.
Perwakilan Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Pelalawan, Wandri Simbolon, menambahkan bahwa kebijakan TNTN berdampak langsung pada tujuh desa dengan sekitar 50 ribu jiwa. Ia menyoroti keberadaan satuan tugas penertiban kawasan hutan yang menimbulkan ketakutan warga hingga muncul dugaan kekerasan.
"Kami menolak relokasi karena akan menghilangkan rumah, sekolah, dan rumah ibadah yang sudah ada puluhan tahun. Bahkan pernah ada kasus anak SD dicekik aparat satgas dengan alasan bercanda. Itu cara yang tidak manusiawi," ucap Wandri.
Baca Juga: Kejati Riau Limpahkan 3 Tersangka Dugaan Korupsi Proyek Pelabuhan Sagu-sagu Lukit ke JPU
Ia juga menjelaskan pembatasan aktivitas warga, mulai dari pemasangan portal, larangan menanam, hingga pemutusan akses ekonomi, memperburuk kondisi masyarakat. Kerugian ditaksir mencapai Rp708 miliar, terutama dari pinjaman KUR, leasing, dan pajak yang gagal dilunasi warga.
Dari Forum Desa Korban Tata Kelola Hutan di Indragiri Hulu, Ketua forum Irwantoni mengungkapkan desanya yang sudah ada sejak sebelum kemerdekaan tiba-tiba ditetapkan sebagai kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK) melalui SK 903/2016.
Akibat keputusan itu, sertifikat tanah warga dianggap tidak berlaku, sementara lahan mereka dipatok ulang oleh satuan tugas.
"Padahal lahan itu satu-satunya sumber penghidupan warga. Jika tidak ada perubahan kebijakan, masyarakat kami akan bernasib sama seperti desa-desa di Tesso Nilo," kata Irwantoni.
Komisi XIII DPR menekankan pentingnya peran Komnas HAM serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk menyelidiki dugaan pelanggaran dan memberikan rekomendasi.
Rapat yang menghadirkan perwakilan masyarakat, mahasiswa, dan lembaga negara bidang HAM itu membahas perkembangan kasus dan akan dilanjutkan ke agenda berikutnya.
Baca Juga: TNI AL Selidiki Kasus Warga Riau Tewas Diduga Dianiaya Personelnya
Komisi XIII menegaskan bahwa keadilan bagi masyarakat terdampak tata kelola hutan adalah amanat konstitusi. Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI, Andreas Hugo Pareira, menekankan bahwa pertemuan ini merupakan tindak lanjut dari surat pengaduan sejumlah organisasi masyarakat yang sudah cukup lama masuk ke DPR.
Ia menegaskan negara tidak hanya wajib mendengar aspirasi, tetapi juga menjamin keamanan warga yang memperjuangkan haknya.
"Persoalan yang dihadapi masyarakat menyangkut penyitaan lahan, pemutusan akses jalan dan listrik, larangan transaksi hasil sawit, hingga larangan penerimaan murid baru di sekolah kawasan TNTN. Semua itu terkait hak atas tanah, hak hidup di lingkungan sehat, serta hak penghidupan yang layak, yang merupakan bagian integral HAM yang dijamin konstitusi," kata Andreas.
Sumber: ANTARA