A PHP Error was encountered

Severity: Warning

Message: Invalid argument supplied for foreach()

Filename: libraries/General.php

Line Number: 87

Backtrace:

File: /www/ntvweb/application/libraries/General.php
Line: 87
Function: _error_handler

File: /www/ntvweb/application/controllers/Read.php
Line: 64
Function: popular

File: /www/ntvweb/index.php
Line: 326
Function: require_once

Rencana Aturan Kemasan Rokok Disebut Berisiko Menimbulkan Persoalan Hukum - Ntvnews.id

Rencana Aturan Kemasan Rokok Disebut Berisiko Menimbulkan Persoalan Hukum

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 29 Des 2025, 22:16
thumbnail-author
Tasya Paramitha
Penulis & Editor
Bagikan
Ilustrasi kemasan rokok. Ilustrasi kemasan rokok. (Ntvnews.id)

Ntvnews.id, Jakarta - Rencana Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menerapkan kebijakan standardisasi kemasan rokok dengan warna seragam atau plain packaging menuai penolakan dari kalangan industri. Kebijakan yang tertuang dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) tersebut dinilai melampaui kewenangan administratif dan berpotensi bertentangan dengan sejumlah undang-undang, termasuk aturan terkait hak kekayaan intelektual.

Langkah Kemenkes itu juga dianggap tidak sejalan dengan arah kebijakan Pemerintahan Prabowo yang tengah menekankan penyederhanaan regulasi, penghapusan tumpang tindih aturan, serta penguatan kepastian hukum guna mendorong iklim investasi dan pembangunan ekonomi.

Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), Benny Wachjudi, menilai rencana penyeragaman warna, logo, dan desain kemasan rokok merupakan bentuk pelampauan kewenangan. Bahkan, dalam draf aturan tersebut, Kemenkes turut mengusulkan pengaturan mengenai bahan hingga ukuran kemasan, yang menurutnya tidak memiliki dasar mandat dalam peraturan di atasnya.

Benny menjelaskan bahwa aspek visual pada kemasan rokok merupakan identitas merek yang secara tegas dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Dalam regulasi tersebut, merek didefinisikan sebagai tanda grafis yang mencakup gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, hingga susunan warna yang berfungsi sebagai pembeda barang dalam kegiatan perdagangan.

“Apabila salah satu komponen ini dihilangkan atau diseragamkan, maka esensinya tetap sama dengan kemasan polos,” ujar Benny dalam keterangannya, Senin, 29 Desember 2025.

Ia menegaskan bahwa secara hierarki peraturan, posisi Peraturan Menteri berada di bawah Undang-Undang. Karena itu, apabila Rancangan Permenkes tetap dipaksakan, Kemenkes dinilai menabrak perlindungan hukum atas Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) para produsen yang dijamin oleh negara. Selain itu, kebijakan tersebut juga dianggap berpotensi melanggar hak-hak dasar warga negara, termasuk kebebasan berekspresi dan hak menjalankan usaha secara sah.

Menurut Benny, penerapan plain packaging juga berisiko menghilangkan kemampuan produsen untuk berkomunikasi dengan konsumen dewasa. Hal ini dinilai merampas hak konsumen untuk memperoleh informasi yang benar serta kebebasan memilih produk sesuai preferensi masing-masing. “Hal ini bertentangan dengan UU Perlindungan Konsumen yang lebih tinggi dibandingkan dengan sebuah peraturan menteri,” tegasnya.

Dampak lanjutan dari kebijakan tersebut juga diperkirakan merembet ke sektor periklanan dan industri kreatif. Hilangnya identitas merek pada kemasan akan mengurangi objek promosi, yang pada akhirnya berpotensi menurunkan minat pendaftaran merek. Kondisi ini dikhawatirkan ikut menekan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang dikelola Direktorat Jenderal HAKI di bawah Kementerian Hukum.

Benny juga menyoroti dasar hukum yang digunakan Kemenkes dalam menyusun Rancangan Permenkes tersebut. Ia menyebut rujukan pada Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 Pasal 437 ayat 6 dinilai tidak tepat, karena ketentuan itu hanya memberikan mandat pengaturan terkait pencantuman peringatan kesehatan bergambar atau graphic health warning (GHW), bukan standardisasi kemasan secara menyeluruh.

Selain persoalan hukum, efektivitas kebijakan plain packaging dalam menurunkan jumlah perokok juga dipertanyakan. Menurut Benny, aturan tersebut justru berpotensi mendorong maraknya peredaran rokok ilegal yang tidak tunduk pada ketentuan kemasan maupun cukai.

“Dampak lanjutannya adalah hilangnya lapangan kerja akibat industri resmi/legal yang tidak mampu bertahan. Kajian INDEF turut menyatakan berpotensi 1,2 juta orang yang pekerjaannya terdampak akibat dari peraturan tersebut,” tutup Benny.

x|close