"Sudah kita pahami bersama, bahwa hingga saat ini belum ada ilmu pengetahuan dan teknologi yang dengan tepat dan akurat mampu memprediksi terjadinya gempa (kapan, di mana, dan berapa kekuatannya), sehingga kita semua juga tidak tahu kapan gempa akan terjadi, sekalipun tahu potensinya," sambungnya.
Ia mengatakan, informasi potensi gempa megathrust yang berkembang saat ini sama sekali bukanlah prediksi atau peringatan dini. Sehingga jangan dimaknai secara keliru, seolah akan terjadi dalam waktu dekat.
Atas itu, kata Daryono, kepada masyarakat diimbau untuk tetap tenang dan beraktivitas normal seperti biasa, seperti melaut, berdagang, dan berwisata di pantai. BMKG selalu siap memberikan informasi gempa bumi dan peringatan dini tsunami dengan cepat dan akurat.
Ia pun mengatakan, adanya kembali pembahasan potensi gempa di zona Megathrust Selat Sunda dan Mentawai-Siberut, tak terkait langsung dengan peristiwa gempa kuat Magnitudo (M) 7,1 yang berpusat di Tunjaman Nankai dan mengguncang Prefektur Miyazaki Jepang. Tapi, kata Daryono, gempa yang memicu tsunami kecil pada Kamis (8/8/2024) itu mampu menciptakan kekhawatiran bagi para ilmuwan, pejabat negara dan publik di Jepang akan potensi terjadinya gempa dahsyat di Megathrust Nankai.
"Peristiwa semacam ini menjadi merupakan momen yang tepat untuk mengingatkan kita di Indonesia akan potensi gempa di zona seismic gap Selat Sunda dan Mentawai-Siberut," jelas dia
Sejarah mencatat, gempa besar terakhir di Tunjaman Nankai terjadi pada 1946 (usia seismic gap 78 tahun), sedangkan gempa besar terakhir di Selat Sunda terjadi pada 1757 (usia seismic gap 267 tahun) dan gempa besar terakhir di Mentawai-Siberut terjadi pada 1797 (usia seismic gap 227 tahun).
"Artinya kedua seismic gap kita periodisitasnya jauh lebih lama jika dibandingkan dengan seismic gap Nankai, sehingga mestinya kita jauh lebih serius dalam menyiapkan upaya-upaya mitigasinya," tandasnya.